Minggu, 27 Mei 2018

YAYASAN PANGERAN SUMEDANG


Yayasan Pangeran Sumedang

Pengurus Yayasan Pangeran Sumedangmemberikan sambutan pada acara Ngumbah Pusaka di depan Mahkota Binokasih yang terletak di Museum Prabu Geusan UlunKabupaten Sumedang.

Berdirinya Museum Prabu Geusan Ulunberawal dari terbentuknya Yayasan Pangeran Aria Suria Atmadja (YPASA) yang dirikan oleh keluarga Raden Kadir Sumawilaga merupakan adik Pangeran Aria Suria Atmadja putra Pangeran Sugih yang penerima ahli waris wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja, kemudian Yayasan Pangeran Aria Soeria Atmadja pada tahun 1955 berganti menjadi Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) sebagai lembaga bertujuan yang mengurus, memelihara dan mengelola barang wakaf Kangdjeng Pangeran Aria Soeria Atmadja, Bupati Sumedang 1882 – 1919. Untuk melestarikan benda–benda wakaf tersebut Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) merencanakan untuk mendirikan sebuah Museum.

Dalam ikrar wakafnya Pangeran Aria Suria Atmadja beramanat agar barang yang diwakafkannya :

"Itu tidak boleh diwariskan, tidak boleh digugat oleh siapa pun juga, tidak boleh dijual, tidak boleh dirobah-robah, tidak boleh ditukar-tukar dan diganti-ganti."


Dengan demikian keutuhan, kebulatan dan kelengkapan barang pusaka terjamin. Wakaf mulai berlaku jika Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti atau pesiun sebagai bupati Sumedang atau wafat.

Setelah Pangeran Aria Soeria Atmadja menyelesaikan urusan wakafnya dan pesiun 17 April 1919 dan pada tanggal 21 April 1921 Pangeran Aria Soeria Atmadja berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di Arab Saudi Pangeran Aria Soeria Atmadja disambut sebagai seorang raja dari Jawa dengan penuh kehormatan. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji pada tanggal 1 Juni 1921 Pangeran Aria Suria Atmadja wafat di Mekkah sehingga ia dikenal sebagai Pangeran Mekkah. Untuk mengenang jasa-jasa Pangeran AriaSuria Atmadja oleh pemerintahan Kolonial dibangunlah Monumen Lingga.

Karena banyak sekali benda-benda peninggalan tersebut yang dapat dijadikan untuk tujuan kegiatan museum sebagai upaya pengembangan kegiatan Yayasan yang dapat bermanfaat bagi para Wargi Sumedangkhususnya dan masyarakat Sumedang pada umumnya. Maka pada tahun 1973 Museum Wargi-YPS didirikan, yang pada mulanya dibuka hanya untuk di lingkungan para wargi keturunan dan seketurunan Leluhur Pangeran Sumedang saja. Seiring berjalannya waktu Museum Wargi –YPS ternyata mendapat respon yang baik dari para wargi Sumedang demikian juga respon yang baik ini datang dari masyarakat Sumedang, antara lain karena lokasi Museum Wargi –YPS ini sangat strategis sekali, karena letak museum tepat di pusat Kota Sumedang, berada dalam satu kompleks dengan kantor Pemerintah Daerah (PEMDA) Sumedang dan Kantor Bupati Sumedang yang bersebelahan dengan Gedung Negara adalah kantor dan tempat tinggal Bupati Sumedang.

Pada tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedangdiadakan seminar sejarah Jawa Barat yang dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu sesepuh YPS dan Wargi Sumedang mengusulkan untuk mengganti nama Museum YPS yang disampaikan pada forum seminar sejarah Jawa Barat. Dan salah satu hasil dari seminar sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik yaitu Raja terakhir Kerajaan Sumedang larang yang bernama Prabu Geusan Ulun. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi nama menjadi Museum Prabu Geusan Ulun - Yayasan Pangeran Sumedang.

Ketua Yayasan Pangeran Sumedang dari masa ke masaSunting

Sejak terbentuknya Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) sejak tahun 1950, telah dipimpin beberapa Ketua YPS :

Raden Rangga Kosasih Soemadinigrat (1950 – 1955)Raden Rangga Sadeli. (1955 – 1960)Raden Danoe Soemawilaga. (1960 – 1968)Raden Ating Natadikoesoema. (1968 – 1980)Raden Tumenggung Mohammad Singer. (1980 – 1988)Haji Raden Lukman Hamid Soemawilaga. (1988 – 1992)Haji Raden Djamhir Soemawilaga. (1992 – 1997)Haji Raden Otje Salman Soemadiningrat (1997 – 1998)Haji Raden Hadian Soemaadiningrat. (1998 – 2006)Raden I. Lukman Soemadisoeria (2006 – 2009)Ir. Haji Raden Koenraad Soeriapoetra (2009 - Sekarang)

Pranala luarSunting

Perjalanan wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja (PASA) Page Pangeran Aria Soeria Atmadja

ReferensiSunting

http://museumprabugeusanulun.org/

Lihat riwayat suntingan halaman ini.

RELATED PAGES

Museum Prabu Geusan Ulun

Pangeran Suria Kusumah Adinata

Dalem Adipati Tanumaja

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali dinyatakan lain.

PrivasiTampilan PC

Jumat, 11 Mei 2018

Kemaharajaan Majapahit

Kemaharajaan Majapahit
ꦤꦒꦫꦶ​ꦏꦫꦗꦤ꧀​ꦩꦗꦥꦻꦠ꧀ (Jawa)
满者伯夷 (Mandarin)
विल्व तिक्त (Sanskerta)
मजापहित साम्राज्य (Hindi)1293–1527BenderaSurya MajapahitSemboyan
Mitreka Satata
(Jawa Kuna: "Persaudaraan yang satu dengan dasar persamaan derajat")

Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[1]

Ibu kotaMojokerto (masa Raden Wijaya), Trowulan (masa Jayanegara), Kediri(masa Girindrawardhana)BahasaJawa Kuna (utama), Kawi (alternatif), SanskertaAgamaSiwa-Buddha (Hindudan Buddha), KejawenAnimismeBentuk pemerintahanMonarkiMaharaja - 1293-1309Kertarajasa Jayawardhana - 1309-1328Jayanagara - 1328-1350Tribhuwana Wijayatunggadewi - 13250-1389Rajasanagara - 1389-1429Wikramawardhana - 1429-1447Dyah Ayu Kencana Wungu - 1447-1451Brawijaya I - 1451-1453Brawijaya II - 1453-1466Brawijaya III - 1466-1468Brawijaya IV - 1468-1478Brawijaya VMahapatih - 1336–1364Gajah MadaSejarah - Penobatan Raden Wijaya10 November 1293 1293 - Invasi Demak1527Mata uangKoin emas dan perak, kepeng (koin perunggu yang diimpor dari Tiongkok)

Rabu, 02 Mei 2018

Asal Usul Gelar Tubagus



Asal-Usul Nama Tubagus

Tubagus itu berasal dari kata RATUBAGUS...Ratubagus itu gelar yang diberikan kepada keluarga kasunyatan banten. Belanda bnyak membantai orang2 bergelar Ratubagus. Akhirnya Ratubagus diubah menjadi Tubagus.
SUMBER: TUBAGUS ARYA SENCAKI

Bila dirunut dari berbagai sumber, sebetulnya Tubagus itu adalah gelar “sayyid” untuk keturunan Rasulullah yang diterapkan di Banten, kalo di arab saudi mungkin ada gelar 'habib' dan di iran mungkin ada 'sayyid' di banten ada 'tubagus'.ini bukan gelar kebangsawanan, tapi supaya yg punya gelar selalu terikat dengan rasul, sehingga diharapkan selalu meneladani beliau.Hal ini karena setiap keturunan Sultan Hasanuddin adalah keturunan Rasul mengingat ayah Sultan Hasanuddin yaitu Maulana Syarif Hidayatullah adalah keturunan Rasul.Dan satu-satunya dari wali songo (yg keturunan rasul). Pada syarif hidayatullah mengalir dua darah utama, yakni dari rasulullah dari ayahnya, sedangkan dari ibunya mengalir darah penguasa padjajaran yang merupakan adik dari Prabu Siliwangi.

Pada zaman dulu yang memakai nama Tubagus & Ratu biasanya identik dengan pandai. ahli dlm soal agama.bisa mangaji,agamis, pendakwah ato memberi manfaat buat org lain. Mendapat gelar tb atau ratu bukan untuk narsis tp lebih pada utk periksa diri bahwa kita mendapat tugas untuk memberi manfaat buat orang lain serta manjaga garis keturunan.

Katanya utk mengetes seorang itu tubagus atau bukan suruh saja menunjukkan silsilahnya, kalo dia tubagus asli,katanya silsilah ini terus dipeliharasehingga nyambung ke maulana hasanudian atau ke syarif hidayatullah. jadi jangan memahami tubagus sebagai gelar kebangsawanan, itu hanya gelar utk keturunan rasul yg ada di banten. dan gelar itu bukan utk menyombongkan diri, tapi supaya mereka malu, kalo berbuat maksiat, sebab pada darah mereka mengalir darah rasul, makhluk Allah yang paling dicintaiNya.

Berikut Adalah Silsilah Kesultanan Banten Mulai Dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW

Tawasul silsilah merupakan salah cara untuk mempermudah mendapat keilmuan sejarah, untuk kita semua.

Nabi Muhammad SAW
Fatimah Az-Zahra
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad
Al-Imam Sayyidina Hussain
Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin
Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin
Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
Sayyid Muhammad An-Naqib bin
Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin
Ahmad al-Muhajir bin
Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
Sayyid Alawi Awwal bin
Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin
Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan bin
Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin
Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan @ ‘Ali Nurul ‘Alam
Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan

SYARIF HIDAYATULLAH – SUNAN GUNUNG JATI berputera :
Ratu Ayu Pembayun
Pangeran Pasarean
Pangeran Jaya Lelana
Maulana Hasanuddin
Pangeran Bratakelana
Ratu Wianon
Pangeran Turusmi

PANGERAN HASANUDDIN – PANEMBAHAN SUROSOWAN (1552-1570) berputera :
Ratu Pembayun
Pangeran Yusuf
Pangeran Arya Japara
Pangeran Suniararas
Pangeran Pajajara
Pangeran Pringgalaya
Pangeran Sabrang Lor
Ratu Keben
Ratu Terpenter
Ratu Biru
Ratu Ayu Arsanengah
Pangeran Pajajaran Wado
Tumenggung Wilatikta
Ratu Ayu Kamudarage
Pangeran Sabrang Wetan

MAULANA YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE (1570-1580) berputra :
Pangeran Arya Upapati
Pangeran Arya Adikara
Pangeran Arya Mandalika
Pangeran Arya Ranamanggala
Pangeran Arya Seminingrat
Ratu Demang
Ratu Pecatanda
Ratu Rangga
Ratu Ayu Wiyos
Ratu Manis
Pangeran Manduraraja
Pangeran Widara
Ratu Belimbing
Maulana Muhammad

MAULANA MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN (1580-1596) berputra :
Pangeran Abdul Kadir

SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD ‘ABDUL KADIR KENARI (1596-1651) berputra :
Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)
Ratu Dewi
Ratu Ayu
Pangeran Arya Banten
Ratu Mirah
Pangeran Sudamanggala
Pangeran Ranamanggala
Ratu Belimbing
Ratu Gedong
Pangeran Arya Maduraja
Pangeran Kidul
Ratu Dalem
Ratu Lor
Pangeran Seminingrat
Ratu Kidul
Pangeran Arya Wiratmaka
Pangeran Arya Danuwangsa
Pangeran Arya Prabangsa
Pangeran Arya Wirasuta
Ratu Gading
Ratu Pandan
Pangeran Wirasmara
Ratu Sandi
Pangeran Arya Jayaningrat
Ratu Citra
Pangeran Arya Adiwangsa
Pangeran Arya Sutakusuma
Pangeran Arya Jayasantika
Ratu Hafsah
Ratu Pojok
Ratu Pacar
Ratu Bangsal
Ratu Salamah
Ratu Ratmala
Ratu Hasanah
Ratu Husaerah
Ratu Kelumpuk
Ratu Jiput
Ratu Wuragil

PUTRA MAHKOTA SULTAN ‘ABDUL MA’ALI AHMAD, berputera:
Abul Fath Abdul Fattah
Ratu Panenggak
Ratu Nengah
Pangeran Arya Elor
Ratu Wijil
Ratu Puspita
Pangeran Arya Ewaraja
Pangeran Arya Kidul
Ratu Tinumpuk
Ratu Inten
Pangeran Arya Dipanegara
Pangeran Arya Ardikusuma
Pangeran Arya Kulon
Pangeran Arya Wetan
Ratu Ayu Ingalengkadipura

SULTAN AGENG TIRTAYASA -’ABUL FATH ‘ABDUL FATTAH (1651-1672) berputra :
Sultan Haji
Pangeran Arya ‘abdul ‘Alim
Pangeran Arya Ingayudadipura
Pangeran Arya Purbaya
Pangeran Sugiri
Tubagus Rajasuta
Tubagus Rajaputra
Tubagus Husaen
Raden Mandaraka
Raden Saleh
Raden Rum
Raden Mesir
Raden Muhammad
Raden Muhsin
Tubagus Wetan
Tubagus Muhammad ‘Athif
Tubagus Abdul
Ratu Raja Mirah
Ratu Ayu
Ratu Kidul
Ratu Marta
Ratu Adi
Ratu Ummu
Ratu Hadijah
Ratu Habibah
Ratu Fatimah
Ratu Asyiqoh
Ratu Nasibah
Tubagus Kulon

SULTAN ABU NASR ABDUL KAHHAR – SULTAN HAJI (1672-1687) berputra :
Sultan Abdul Fadhl
Sultan Abul Mahasin
Pangeran Muhammad Thahir
Pangeran Fadhludin
Pangeran Ja’farrudin
Ratu Muhammad Alim
Ratu Rohimah
Ratu Hamimah
Pangeran Ksatrian
Ratu Mumbay (Ratu Bombay)

SULTAN ABUDUL FADHL (1687-1690) berputra :- Tidak Memiliki Putera

SULTAN ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN (1690-1733 ) berputra :
Sultan Muhammad Syifa
Sultan Muhammad Wasi’
Pangeran Yusuf
Pangeran Muhammad Shaleh
Ratu Samiyah
Ratu Komariyah
Pangeran Tumenggung
Pangeran Ardikusuma
Pangeran Anom Mohammad Nuh
Ratu Fatimah Putra
Ratu Badriyah
Pangeran Manduranagara
Pangeran Jaya Sentika
Ratu Jabariyah
Pangeran Abu Hassan
Pangeran Dipati Banten
Pangeran Ariya
Raden Nasut
Raden Maksaruddin
Pangeran Dipakusuma
Ratu Afifah
Ratu Siti Adirah
Ratu Safiqoh
Tubagus Wirakusuma
Tubagus Abdurrahman
Tubagus Mahaim
Raden Rauf
Tubagus Abdul Jalal
Ratu Hayati
Ratu Muhibbah
Raden Putera
Ratu Halimah
Tubagus Sahib
Ratu Sa’idah
Ratu Satijah
Ratu ‘Adawiyah
Tubagus Syarifuddin
Ratu ‘Afiyah Ratnaningrat
Tubagus Jamil
Tubagus Sa’jan
Tubagus Haji
Ratu Thoyibah
Ratu Khairiyah Kumudaningrat
Pangeran Rajaningrat
Tubagus Jahidi
Tubagus Abdul Aziz
Pangeran Rajasantika
Tubagus Kalamudin
Ratu Siti Sa’ban Kusumaningrat
Tubagus Abunasir
Raden Darmakusuma
Raden Hamid
Ratu Sifah
Ratu Minah
Ratu ‘Azizah
Ratu Sehah
Ratu Suba/Ruba
Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)

SULTAN MUHAMMAD SYIFA’ ZAINUL ARIFIN (1733-1750) berputra :
Sultan Muhammad ‘Arif
Ratu Ayu
Tubagus Hasannudin
Raden Raja Pangeran Rajasantika
Pangeran Muhammad Rajasantika
Ratu ‘Afiyah
Ratu Sa’diyah
Ratu Halimah
Tubagus Abu Khaer
Ratu Hayati
Tubagus Muhammad Shaleh
SULTAN SYARIFUDDIN ARTU WAKIL (1750-1752 )- Tidak Berputera
SULTAN MUHAMMAD WASI’ ZAINUL ‘ALIMIN (1752-1753)- Tidak Berputera
SULTAN MUHAMMAD ‘ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753-1773) berputra :
Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin
Sultan Muhyiddin Zainusholiohin
Pangeran Manggala
Pangeran Suralaya
Pangeran Suramanggala
SULTAN ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN (1773-1799) berputra :
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
Pangeran Darma
Pangeran Muhammad Abbas
Pangeran Musa
Pangeran Yali
Pangeran Ahmad

SULTAN MUHYIDDIN ZAINUSHOLIHIN (1799-1801) berputra :
Sultan Muhammad Shafiuddin
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

SEJARAH KEBUYUTAN BANTEN

PRABU DEWARATU PULO PANAITAN
PRABU LANGLANG BUANA GUNUNG LOR PULASARI
PRABU MUNDING KALANGON PUNCAK MANIK GUNUNG LOR PULASARI
PRABU SEDASAKTI TAJO POJOK
PRABU MANDITI GUNUNG KARANG
PRABU BANGKALENG CANGKANG
NYAIMAS RATU WIDARA PUTIH SERAM TENGAH LAUTAN
NYAIMAS DJONG
KYAI AGUS DJU
INDRA KUMALA GUNUNG KARANG PEPITU PAKUAN
MANIK KUMALA SUNGAI CIUJUNG
SEJARAH PERGURUAN PARA WALI TANAH BANTEN
SYEIKH MUHAMMAD SHOLEH GUNUNG SANTRI CILEGON
SYEIKH MUHAMMAD SHIHIB TAGAL PAPA MENGGER
SYEIKH ABDUL RO ’UF PARAJAGATI CINGENGE
SYEIKH ABDUL GHANI MENES
SYEIKH MAHDI CARINGIN LABUAN
SYEIKH ABDURROHMAN ASNAWI CARINGIN LABUAN
SYEIKH WALI DAWUD CINGINDANG LABUAN
SYEIKH KIYAI MACHDUM ABDUL DJALIL KALIMAH BARRONI GUNUNG RAMA SUKOWATI LABUAN
SYEIKH CINDRAWULUNG GUNUNG SINDUR TANGERANG
SYEIKH HAJI KAISAN
SYEIKH HAJI SILAIMAN GUNUNG SINDUR
SYEIKH KANJENG KYAI DALEM MUSTOFA GUNUNG SINDUR
SYEIKH KYAI BAGUS ATIK SULAIMAN CHOLIQ SERPONG

Pangeran Tubagus Angke


Pangeran Tubagus Angke yang kelak bergelar Pengeran Jayakarta II putra Pangeran Panjunan cucu syekh Datuk Kahfi menikah dengan Ratu Ayu Pembayun Fatimah putri Fatahillah atau Pangeran Jayakarta dan Ratu Winahon putri Sunan Gunung Djati, Tubagus Angke yang menggantikan Fatahillah sebagai Adipati Jayakarta/Jakarta dengan gelar Pengeran Jayakarta II

Perjuangan melawan PortugisSunting

Pangeran Tubagus Angke panglima perang Kerajaan Banten (Tubagus atau Ratu Bagus adalah gelar kebangsawanan kerajaan Banten). Sekitar awal abad ke-16, Kerajaan Banten mengirim pasukannya untuk membantu Kerajaan Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang). Sungai di mana pasukan Tubagus Angke bermarkas kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke.

Pangeran Tubagus Angke (1570-1600 ?), sebagai Adipati Jayakarta kedua dan bawahan (vasal) kesultanan Banten serta penerus Fatahillah. Pangeran Tubagus Angke ini adalah Pangeran Jayakarta II yang disebutkan oleh orang Inggris dan Belanda sebagai “Regent of Jakarta” atau “Koning van Jacatra”. (Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, A. Heuken SJ). Pada jaman Pangeran Jayakarta inilah orang-orang asing Eropa seperti Inggris dan Belanda (sebelumnya pada abad ke 16 orang Portugis juga sudah mengunjungi Jakarta) mulai berdatangan yang kemudian harinya pecah konflik dengannya. Penduduk Tionghoa sendiri juga sudah ada sebelumnya di kota ini, dan kemudian harinya bertambah lagi dengan orang-orang Tionghoa yang berdatangan dari Banten dan terutama sesudah Banten dibawah buyutnya Sultan Ageng Tirtayasa dikuasai oleh Belanda.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Alwi Shahab, salah seorang penulis dan budayawan Betawi. Menurutnya, kata "angke" berasal dari bahasa Hokkian, yakni "ang" yang berarti merah dan "ke" yang berarti sungai atau kali. Hal ini terkait dengan kejadian tahun 1740, saat Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa di Glodok, yang membuat warna air Kali Angke yang semula jernih menjadi merah bercampur darah. Namun, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, kata "angke" berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, "anke", yang berarti kali yang dalam.

Hubungan Cirebon, Banten dan DemakSunting

Fatahillah yang sudah merasa tua hendak pensiun. Dia kemudian pada perayaan kemerdekaan kota Jayakarta melihat sosok pemuda yang tegap dan pandai bernama Tubagus Angke, keturunan dari Pangeran Cirebon. Kepandaian beserta sifat jujur, berlaku adil, rendah hati Tubagus Angke membuat Fatahillah ingin mengangkatnya menjadi penerusnya sebagai Bupati Jayakarta.

Tubagus Angke pun di angkat menjadi Bupati Jayakarta ke-2. Fatahillah memenuhi panggilan Sunan Gunung Jati ke Cirebon. Di sana dia juga bermaksud ingin mendapatkan ketenangan baru, setelah melewati pengalaman panjangnya dengan peperangan, kesedihan, dan penuh dengan perjuangan berat membantu mendirikan kerajaan Banten Darussalam dan kota Jayakarta.

Sunan Gunung Jati memanggil Bupati Jayakarta, Fatahilah ke Cirebon. Pemanggilannya di maksud untuk membantu pertahanan Cirebon dari amukan Dipati Jipang, Arya Penangsang. Fatahilah sebelumnya datang menemui Syekh Bentong anak Syekh Quro kakek Raden Patah, dan mengungkapkan kekecewaannya atas peristiwa kekacauan yang terjadi di Demak. Sunan Gunung Jati telah berusia sangat tua. Dampingi Fatahillah ketika menghembuskan nafas terakhirnya di usianya ke-109 tahun. Tak lama kemudian Fatahillah juga menyusul mangkat. Fatahillah dimakamkan di dekat makam Sunan Gunung Djati di Gunung Sembung. Hal ini menandakan kedekatannya hubungan Fatahillah dengan Sunan Gunung Djati.

Setelah mangkat ayahandanya Ki Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin tidak segan-segan lagi meluaskan wilayah kasultanan Surosowan. Apalagi dengan di angkatnya menantunya Tubagus Angke menjadi Bupati Jayakarta II, membuat kasultanan Surosowan Banten menguasai pula kota Jayakarta (kini Jakarta).

Pada kenyataan sejarah sejak masa itu, kasultanan Surosowan Banten berkembang menjadi lebih besar dari saudaranya di kasultanan Cirebon. Sultan Maulana Hasanuddin melakukan pengepungan pada oposisi bebuyutannya sesama turunan wangsa kerajaan Pajajaran di Banten, yaitu pada kerajaan Banten Girang. Pada masa sejarah sebelumnya, wilayah Banten terdapat 2 kerajaan, yakni kerajaan Banten pasisir atau kerajaan Banten Surosowan purba dan kerajaan Banten Girang atau Banten Selatan, yang pada masa Prabu Siliwangi menjadi kerajaan kerabat bawahan keprabhon (sebutan kekaisaran di Jawa) Pajajaran.

KeluargaSunting

Pangeran Tubagus Angke putra Pangeran Panjunan memiliki Istri putri dari banten dikaruniai putra Pangeran Sungerasa / Pangeran Jayakarta III dan Ratu Mertakusuma menikah dengan Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (1647 - 1651) Kesultanan Banten yang berputra Sultan Ageng Tirtayasa / Abdul Fattah (1651-1682).Pangeran Tubagus Angke bersaudara beda ibu dengan Pangeran Pamelekaran ayah dari Pangeran Santri Raja Kerajaan Sumedang Larang

*PUTRI K*awunganten - Keturunan (Inventaris)


11/1 <? Nyai Ratu Kawunganten [Pajajaran]

kelahiran: ISTRI KE 1 (berputra 2), Surasowan-Banten
perkawinan: <1>  14.1.1. Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah (Muhammad Nuruddin/Sri Mangana) [Akbar] b. 1448 d. 1568
perkawinan: <1! 14.1.1. Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah (Muhammad Nuruddin/Sri Mangana) [Akbar] b. 1448 d. 1568

Istri yang pertama Sunan Gunung Jati adalah Nyai Ratu Kawunganten, putri bupati Kawunganten Banten. Darinya, Sunan Gunung Jati mempunyai 2 orang anak. Yakni 1. Nyai Ratu Winahon/Nyai Ratu Winangun dan Maulana Hasanudin, yang kemudian menjadi Sultan Banten. Hubungan dengan Demak terjalin karena Maulana Hasanuddin sendiri, menikahi salah seorang putri Sultan Trenggono, raja Demak ketiga.

2

31/2 <1+1 4.1.1.6. Ratu Winahon / Ratu Winangun [Gunung Jati]

kelahiran: 1477
perkawinan: <2>  Fachrullah Khan / Faletehan (Fadhillah Khan)[Khan] d. 1570

22/2 <1+1 14.1.1.1. Maulana Hasanuddin / Pangeran Sabakingkin (Pangeran Hasanuddin)[Kasultanan Banten]

kelahiran: 1478, Cirebon
perkawinan: <3>  3.4.1.1.3. Ratu Ayu Kirana[Azmatkhan
gelar: 1552 - 1570, Sultan Banten I
kematian: 1570, Banten

== Kesultanan Banten 1527-183 ==

Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya Ibukota Surosowan, Kota Intan Bahasa Sunda, Jawa, Melayu, Arab,[1] Agama Islam Pemerintahan Kesultanan

Sultan - 1527-1552 sebagai bawahan Demak - 1552–1570 ¹ Maulana Hasanuddin - 1651–1683 Ageng Tirtayasa Sejarah - Serangan atas Kerajaan Sunda 1527 - Aneksasi oleh Hindia-Belanda 1813

Artikel ini bagian dari seri Sejarah Indonesia

Garis waktu sejarah Indonesia Sejarah Nusantara

Prasejarah Kerajaan Hindu-Buddha Kutai (abad ke-4) Tarumanagara (358–669) Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7) Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13) Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9) Kerajaan Medang (752–1006) Kerajaan Kahuripan (1006–1045) Kerajaan Sunda (932–1579) Kediri (1045–1221) Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14) Singhasari (1222–1292) Majapahit (1293–1500) Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15) Kerajaan Islam Penyebaran Islam (1200-1600) Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521) Kesultanan Ternate (1257–sekarang) Kerajaan Pagaruyung (1500-1825) Kesultanan Malaka (1400–1511) Kerajaan Inderapura (1500-1792) Kesultanan Demak (1475–1548) Kesultanan Kalinyamat (1527–1599) Kesultanan Aceh (1496–1903) Kesultanan Banten (1527–1813) Kesultanan Cirebon (1552 - 1677) Kesultanan Mataram (1588—1681) Kesultanan Siak (1723-1945) Kerajaan Kristen Kerajaan Larantuka (1600-1904) Kolonialisme bangsa Eropa Portugis (1512–1850) VOC (1602-1800) Belanda (1800–1942) Kemunculan Indonesia Kebangkitan Nasional (1899-1942) Pendudukan Jepang (1942–1945) Revolusi nasional (1945–1950) Indonesia Merdeka Orde Lama (1950–1959) Demokrasi Terpimpin (1959–1965) Masa Transisi (1965–1966) Orde Baru (1966–1998) Era Reformasi (1998–sekarang)

Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3] Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]

3

61/3 <2+? 14.1.1.1.1. Maulana Yusuf / Pangeran Pasareyan [Kasultanan Banten]

gelar: 1570 - 1582, Banten, Sultan Banten II
kematian: 1585

42/3 <2+? 4.1.1.1.3. Syarifah Fatimah / Ratu Winahon II [Banten]

53/3 <2 4.1.1.1.2. Syarifah Khadijah [Cirebon]

74/3 <2 (Poss) Child of Maulana Hasanuddin [Cirebon]

85/3 <2+? 4.1.1.1.4. Pangeran Arya Japara [Banten]

96/3 <2+? 4.1.1.1.5. Pangeran Suniararas [Banten]

107/3 <2+? 4.1.1.1.6. Pangeran Pajajaran [Banten]

118/3 <2+? 4.1.1.1.7. Pangeran Pringgalaya [Banten]

129/3 <2+? 4.1.1.1.8. Pangeran Sabrang Lor [Banten]

1310/3 <2+? 4.1.1.1.8. Ratu Keben [Banten]

1411/3 <2+? 4.1.1.1.9. Ratu Terpenter [Banten]

1512/3 <2+? 4.1.1.1.10. Ratu Biru [Banten]

1613/3 <2+? 4.1.1.1.11. Ratu Ayu Arsanengah [Banten]

1714/3 <2+? 4.1.1.1.12. Pangeran Pajajaran Wado [Banten]

1815/3 <2+? 4.1.1.1.13. Tumenggung Wilatikta [Banten]

1916/3 <2+? 4.1.1.1.14. Ratu Ayu Kamudarage [Banten]

2017/3 <2+? 4.1.1.1.15. Pangeran Sabrang Wetan [Banten]

4

211/4 <4+? 2.1.1.1. Raden Aryawangsa / Sultan Muhamad Wangsa Adipati Pakuan [Azmatkhan]

gelar: Penasehat Sultan Banten III

Kiprah Putra Pati Unus di Banten

Sebagian riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Mawlana Abdul Qadir.

Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga paman beliau sendiri karena Ibunda beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.

Seperti yang disebut diatas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah beliau wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam ,sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.

LAMBANG KESULTANAN BANTEN

242/4 <6 14.1.1.1.1.14. Maulana Muhammad / Pangeran Sedangrana [Kasultanan Banten]

gelar: 1585 - 1596, Banten, Sultan Banten III
kematian: 1596, Palembang

223/4 <5+? Mas Sulaiman Mojoagung [Basyaiban]

234/4 <7 (Poss) Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]

255/4 <6 4.1.1.1.1.1. Pangeran Arya Upapati [?]

266/4 <6 4.1.1.1.1.2.Pangeran Arya Adikara [?]

277/4 <6 4.1.1.1.1.3. Pangeran Arya Mandalika [Gunung Jati]

288/4 <6 4.1.1.1.1.4. Pangeran Arya Ranamanggala [Gunung Jati]

299/4 <6 4.1.1.1.1.5. Pangeran Arya Seminingrat [Gunung Jati]

3010/4 <6 4.1.1.1.1.6. Ratu Demang [Gunung Jati]

3111/4 <6 4.1.1.1.1.7. Ratu Pecatanda [Gunung Jati]

3212/4 <6 4.1.1.1.1.8. Ratu Rangga [Gunung Jati]

3313/4 <6 4.1.1.1.1.9. Ratu Ayu Wiyos [Gunung Jati]

3414/4 <6 4.1.1.1.1.10. Ratu Manis [Gunung Jati]

3515/4 <6 4.1.1.1.1.11. Pangeran Manduraraja [Gunung Jati]

3616/4 <6 4.1.1.1.1.12. Pangeran Widara [Gunung Jati]

3717/4 <6 4.1.1.1.1.13. Ratu Belimbing [Gunung Jati]

5

LAMBANG KESULTANAN BANTEN

391/5 <24+? 14.1.1.1.1.1.1. Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir / Pangeran Ratu[Kasultanan Banten]

perkawinan
gelar: 23 Juni 1596 - 10 Maret 1651, Banten, Sultan Banten IV
kematian: 10 Maret 1651, Pemakaman Kenari Banten

berputra : Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota) Ratu Dewi Ratu Ayu Pangeran Arya Banten Ratu Mirah Pangeran Sudamanggala Pangeran Ranamanggala Ratu Belimbing Ratu Gedong Pangeran Arya Maduraja Pangeran Kidul Ratu Dalem Ratu Lor Pangeran Seminingrat Ratu Kidul Pangeran Arya Wiratmaka Pangeran Arya Danuwangsa Pangeran Arya Prabangsa Pangeran Arya Wirasuta Ratu Gading Ratu Pandan Pangeran Wirasmara Ratu Sandi Pangeran Arya Jayaningrat Ratu Citra Pangeran Arya Adiwangsa Pangeran Arya Sutakusuma Pangeran Arya Jayasantika Ratu Hafsah Ratu Pojok Ratu Pacar Ratu Bangsal Ratu Salamah Ratu Ratmala Ratu Hasanah Ratu Husaerah Ratu Kelumpuk Ratu Jiput Ratu Wuragil

382/5 <23 (poss) Great Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]

6

LAMBANG KESULTANAN BANTEN

411/6 <39 14.1.1.1.1.1.1.1. Sultan Abul Muali Ahmad [Kasultanan Banten]

gelar: Banten, Sultan Banten ke V

berputra : Abul Fath Abdul Fattah Ratu Panenggak Ratu Nengah Pangeran Arya Elor Ratu Wijil Ratu Puspita Pangeran Arya Ewaraja Pangeran Arya Kidul Ratu Tinumpuk Ratu Inten Pangeran Arya Dipanegara Pangeran Arya Ardikusuma Pangeran Arya Kulon Pangeran Arya Wetan Ratu Ayu Ingalengkadipura

Masa Raja / Sultan Banten ke-5

Pada 1636, Syarif Mekkah di Arab di bawah otorisasi Kesultanan Turki turut memberikan pula gelar sultan kepada putra Mahkota Sultan Banten Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qodir, dengan gelar Sultan Abul Ma’ali Ahmad. Penggelaran ini secara administratif membagi pembagian tugas sang putra Mahkota sebagai Sultan Wakil yang membantu mengurus urusan dalam negeri Banten. Sedangkan Sultan Penuh lebih mengurus urusan luar negeri Banten.

Sultan Abul Ma’ali Ahmad berjasa mengedarkan uang Banten yang dibuat dari besi dan Timah. Beliau meninggal lebih dulu daripada ayahnya yakni pada tahun 1650, sehingga hak kepewarisan tahta jatuh kepada anak beliau atau cucu dari Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir yakni kepada Pangeran Surya yang bergelar Sultan Abul Fath Abdul Fattah alias Sultan Ageng Tirtayasa.

402/6 <38 (poss) 2 Great Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]

7

LAMBANG KESULTANAN BANTEN

431/7 <41+? 1. Sultan Ageng Tirtayasa / Pangeran Surya (Pangeran Ratu/Pangeran Dipati)[Kasultanan Banten]

kelahiran: 1631, Banten
gelar: 1651 - 1683, Banten, Sultan Banten ke VI
kematian: 1692, Batavia

berputra : Sultan Haji Pangeran Arya ‘abdul ‘Alim Pangeran Arya Ingayudadipura Pangeran Arya Purbaya Pangeran Sugiri Tubagus Rajasuta Tubagus Rajaputra Tubagus Husaen Raden Mandaraka Raden Saleh Raden Rum Raden Mesir Raden Muhammad Raden Muhsin Tubagus Wetan Tubagus Muhammad ‘Athif Tubagus Abdul Ratu Raja Mirah Ratu Ayu Ratu Kidul Ratu Marta Ratu Adi Ratu Ummu Ratu Hadijah Ratu Habibah Ratu Fatimah Ratu Asyiqoh Ratu Nasibah Tubagus Kulon

Masa Raja / Sultan Banten ke-6

Sepeninggal Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684) yang diakui negara RI sebagai salah satu Pahlawan Nasional dari Banten.

Sultan Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar yang bernama Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.

Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.

Banten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin hubungan baik. Demikian pula hubungannya dengan Cirebon, sejak awal telah terjadi hubungan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton adalah keturunan Syarif Hidayatullah). Banten membantu Cirebon dalam membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan Banten masuk ke dalam keraton Cirebon dan turut mencakupnya.

Selain membawa Banten ke puncak kejayaannya, sayangnya bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal sebagai Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian dengan siasat devide et impera, mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian didukung VOC untuk mempertahankan hak tahta kekuasaan atas Banten yang sebenarnya belum saatnya untuk dipegang namun merupakan siasat adu domba Belanda. Hal ini membawa Banten terjebak pada konflik hingga Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggal tahun 1692.

422/7 <40 (poss) 3 Great Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]

8

LAMBANG KESULTANAN BANTEN

451/8 <43 1. Sultan Haji / Sultan Abu Nashr Muhammad Abdul Kahar [Kasultanan Banten]

gelar: 1683 - 1687, Sultan Banten Ke VII

berputra: Sultan Abdul Fadhl Sultan Abul Mahasin Pangeran Muhammad Thahir Pangeran Fadhludin Pangeran Ja’farrudin Ratu Muhammad Alim Ratu Rohimah Ratu Hamimah Pangeran Ksatrian Ratu Mumbay (Ratu Bombay)

Masa Raja / Sultan Banten ke 7

Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687) Denga gelar Sultan Abu Nashr Muhammad Abdul Kahar. Penobatan ini disertai beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang meminimalkan kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu, didirikan pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karena tidak ada kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.

Penderitaan rakyat semakin menjadi karena monopoli perdagangan VOC. Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan tekanan dari VOC yang tuntutannya sesuai perjanjian harus diturut. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.

Sultan Haji

Sultan Haji merupakan salah seorang putera dari Sultan Abulfath Abdulfattah atau Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten. Namanya Sultan Abunnashri Abdulkahar atau Abdulqohhar namun lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Ia mendapatkan tahtanya bekerja sama dengan Belanda setelah menggulingkan ayahnya. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi, mengingat jika ia pewaris syah dari Kesultanan Banten seharusnya tanpa melakukan kudeta terhadap ayahnya pun, ia dapat menerima tahta tersebut.

Masalah ini dimungkinkan ketidak sabaran Sultan Haji untuk segera menduduki jabatannya, karena ada putra Sultan Ageng lainnya yang bernama Pangeran Purbaya dianggap mampu menggantikan Sultan Ageng, atau Sultan merasa kurang sreg terhadap perilaku Sultan Haji. Namun dimungkinkan pula ada hasutan Belanda, mengingat hubungan Belanda dengan Sultan Ageng dan para pendahulunya kurang baik. Sedangkan jika mendukung Sultan Haji maka Belanda akan lebih mudah menguasai perdagangan di Banten.

Spekulasi terakhir ini yang mungkin paling mendekati, mengingat ada simbiosa mutualisma antara Belanda yang bertujuan melancarkan kepentingan dagangnya dan Sultan Haji yang mengincar jabatan kesultanan. Ketika terjadi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji yang dibantu Belanda istana habis terbakar, tidak sedikit pula perkampungan menjadi musnah.

Sejak Sultan Haji bertahta banyak peristiwa-peristiwa yang sangat merugikan Kesultanan Banten, baik masalah perekonomian negara maupun perpolitikannya. Banyak sudah pemberontakan yang dilakukan rakyat termasuk para pendukung setia Sultan Ageng. Tabiat Sultan Haji dalam menghadapi Belanda pun sangat bertolak belakang dengan para pendahulunya. Sultan Haji sangat mengandalkan bantuan militer dan bantuan ekonomi Belanda, berakibat Banten tidak lagi memiliki kedaulatan penuh, bahkan Belanda sangat mempengaruhi struktur pemerintahan Banten.

Kata Untoro (2007) menyebutkan, sejak ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 april 1684 praktis kukuasaan Kesultanan Banten dapat dianggap runtuh. Lebih lanjut menyebutkan : Perjanjian antara Kesultanan Banten dengan Belanda ditandatangani di Keraton Surasowan, dibuat dalam bahasa Belanda dan Jawa dan Melayu. Penanndatanganan dari pihak Kompeni dilakukan oleh komandan dan presiden komisi Franscois Tack, Kapten Herman Dirkse Wendepoel, Evenhart van der Schuere serta Kapten bangsa Melayu, Wan Abdul Kahar, sedangkan dari pihak Banten dilakukan oleh Sultan Abdul Kahar, pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tadjudin, pangeran Natanegara, dan pangeran Natawijaya (Tjandrasasmita : 1967 : 54). Sejak perjanjian tersebut Kompeni secara langsung aktif menentukan monopoli perdagangan Banten.

Beberapa diantara peninggalannya yang monumental, ia membangun daerah-daerah yang rusak akibat perang, selain itu ia membangun kembali istana Surosowan. Untuk membangun istana Surasowan iapun meminta bantuan Cardeel, seorang arsitek Belanda. Iapun mengganti cara berpakaian dari berpakaian ala Banten menjadi cara berpakaian Arab, sekalipun pernah ditentang oleh Sultan Ageng ketika ia masih berkuasa.

Sultan Haji meninggal dan dimakamkan di Sedakingkin, sebelah utara mesjid Agung, sejajar dengan makam Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji dikarunia beberapa orang anak, antara lain Pengeran Ratu yang kemudian menggantikan tahtanya sebagai Sultan Banten yang dikenal dengan sebutan Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya (1687-1690), Raja / Sultan kedelapan di Kesultanan Surasowan Banten.. Namun hanya sebentar dan tidak mempunyai keturunan.

http://gentong-pusaka.blogspot.co.id/2013/01/sultan-haji.html

442/8 <42 (poss) 4 Great Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]

463/8 <43 2. Pangeran Purbaya [Kasultanan Banten]

perkawinan: <4>  Raden Ayu Gusik Kusuma [Kartasura]

474/8 <43+? 5. Pangeran Sugiri/Pangeran Sogiri/Pangeran Shogiry/Pangeran Sageri [Kasultanan Banten]

485/8 <43 3. Pangeran Arya Ingayudadipuna [Kasultanan Banten]

496/8 <43 4. Pangeran Arya Abdul ‘Alim [Kasultanan Banten]

507/8 <43 6. Tubagus Rajasuta [Kasultanan Banten]

518/8 <43 7. Tubagus Rajaputna [Kasultanan Banten]

529/8 <43 8. Tubagus Husen [Kasultanan Banten]

5310/8 <43 9. Raden Mandaraka [Kasultanan Banten]

5411/8 <43 10. Raden Saleh/Pangeran Shoheh/Pangeran Sake – Makam di Citeureup [Kasultanan Banten]

5512/8 <43 11. Raden Sum [Kasultanan Banten]

5613/8 <43 12. Raden Mesir [Kasultanan Banten]

5714/8 <43 13. Reden Muhammad [Kasultanan Banten]

5815/8 <43 14. Raden Muhsin [Kasultanan Banten]

5916/8 <43 15. Tubagus Wetan [Kasultanan Banten]

6017/8 <43 16. Tubagus Muhammad Athif [Kasultanan Banten]

6118/8 <43 17. Tubagus Abdul [Kasultanan Banten]

6219/8 <43 18. Ratu Baja Mirah [Kasultanan Banten]

6320/8 <43 19. Tubagus Kulon [Kasultanan Banten]

6421/8 <43 20. Ratu Kidul [Kasultanan Banten]

6522/8 <43 21. Ratu Marta [Kasultanan Banten]

6623/8 <43 22. Ratu Adi [Kasultanan Banten]

6724/8 <43 23. Ratu Uinu [Kasultanan Banten]

6825/8 <43 24. Ratu Hadija [Kasultanan Banten]

6926/8 <43 25. Ratu Habibah [Kasultanan Banten]

7027/8 <43 26. Ratu Fatimah [Kasultanan Banten]

7128/8 <43 27. Ratu Asyiqoh [Kasultanan Banten]

7229/8 <43 28. Ratu Nasibah [Kasultanan Banten]

7330/8 <43 29. Ratu Ayu [Kasultanan Banten]

halaman istimewa

Syekh Magelung Sakti, Pengelana Berambut Gondrong Dari Mesir

Syekh Magelung sakti dalam cerita dan tradisi Cirebon disebutkan sebagai seorang laki-laki Mesir yang gondrong sejak lahir. Beliau dikisahkan berkelana dari satu tempat ke tempat lain demi untuk mencari orang yang mampu memotong rambut gondrongnya, ia sendiri dan bahkan guru-gurunya tidak mampu memotong rambutnya. 

Kasus Syekh Magelung sakti ini mirip dengan kasus bocah gimbal di lereng gunung Bromo, dimana rambut bocah gimbal tersebut tidak boleh sembarangan memotongnya, sebab jika dipotong dengan tanpa perhitungan yang matang bisa menyebabkan sakit atau bahkan bisa menyebaban kegimbalan rambut bocah yang bersangkutan semakin menjadi-jadi. 

Tidak ada kejelasan mengenai siapa nama asli dari Syekh Magelung Sakti, nama Syekh Magelung sakti sendiri sebenarnya merupakan julukan yang mempunyai maksud seorang Syekh (kiai) yang memiliki rambut panjang  yang digelung. Dan karena rambut tersebut kebal dicukur maka untuk kemudian dikataan sakti. 

Kelainan yang di alami oleh Syekh Magelung Sakti ini pada nyatanya membuat beliau tak nyaman, dari rasa ketidak nyamananya itu beliau kemudian meninggalkan mesir untuk berkelana mencari seseorang yang sanggup memotong rambutnya. Tapi setiap negeri yang ia datangi belum ada satupun yang sanggup memotong rambutnya. 

Kisah pengembaraan Syekh Magelung Sakti kemudian terhenti di Cirebon, sebab ketika beliau menginjakan kaki di Cirebon ternyata Sunan Gunung Jati mampu memotong rambut Gondrongnya, beliaupun kemudian berguru kepada Sunan Gunung Jati.

Setelah menjadi murid Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung Sakti dikisahkan banyak membantu kemajuan Kesultanan Cirebon. beliau kemudian diangkat oleh Sultan Cirebon menjadi penguasa di Desa Karang Kendal sebagai hadiah dari jasa-jasanya, dan setelah menjabat sebagai penguasa Karang Kendal, beliau juga kemudian dikenal dengan nama Pangeran Karang Kendal. 

Ada kisah menarik seputar kedatangan Syekh Magelung Sakti. Beliau mendarat di Cirebon, ketika Nyimas Ganda Sari sedang melakukan Sayambara untuk mencari Suami. Dalam Sayambara itu Nyimas Gandasari  menantang para pembesar di wilayah Kesultanan Cirebon untuk bertarung dengannya. Bagi yang mampu mengalahkannya maka imbalannya dijadikan suaminya. 

Dalam Sayambara ini dikisahkan tidak ada satupun para pembesar Cirebon yang mampu mengalahkannya.  Syekh Magelung Kakti yang pada waktu itu kebetulan menyaksikan Sayambara itu kemudian terjun kemdan laga, beliaupun dikisahkan mampu mengalahkan Nyimas Gandasari. 

Karena merasa Syekh Magelung Sakti sebagai tamu yang tak diundang, Nyimas Gandasari menolak untuk dinikahi Syekh Magelung Sakti, meskipun ia mampu mengalahkannya. Dalam masa-masa kisruh inilah kemudian Sunan Gunung Jati yang tak lain merupakan Guru dari Nyimas Gandasari menegahi. Dari pertemuan pertama antara Syeh Magelung Sakti dan Sunan Gunung Jati inilah kemudian peristiwa pemotongan rambut Syekh Magelung sakti itu dilakukan.  Syeh Magelung kagum akan kesaktian Sunan Gunung Jati dan akhirnya memohon untuk diterima menjadi muridnya. 

Syekh Magelung Sakti wafat di Karang Kendal dan dimakamkan disana, makamnya hingga kini dapat dijumpai di Karang Kendal, Sebuah desa yang kini masuk pada wilayah Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon

Ratu Harisbaya, Si Cantik Pemantik Perang Cirebon Vs Sumedang


Pada tahun 1585 masehi, Geusun Ulun seorang Raja dari Kerajaan Sumedang Larang bersama senopatihnya Jayaperkasa membawa lari istri Panembahan Ratu dari istana Kerajaan Cirebon. Istri Panembahan Ratu tersebut bernama Ratu Harisbaya[1]. Sebagai Kerajaan Islam Berdaulat di Tanah Sunda jelas saja harga diri Panembahan Ratu sebagai Raja Cirebon merasa terinjak-injak dengan terjadinya peristiwa itu.  

Setelah peristiwa memalukan itu, Panembahan Ratu kemudian mengumumkan perang terhadap Sumedang. Mendapati tantangan dari Cirebon  rupanya Sumedang tak bergeming, sebab bagi Geusun Ulun Ratu Harisbaya harus menjadi istrinya.

Kisah pertempuran antara Cirebon Vs Sumedang yang disebabkan oleh dibawa larinya Ratu Cirebon ini dikisahkan dalam beberapa naskah klasik, diantaranya naskah Pustaka Kertabumi, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan. Selain itu kisah mengenai Ratu Harisbaya ini juga pernah diteliti oleh beberapa peneliti Eropa seperti Petrus de Roo de la Faille, Theodore van Deventer, H.J. de Graaf, Th. G. Pigeaud, dan lain sebagainya.

Sebelum terjadinya peristiwa dibawa larinya Ratu Harisbaya oleh Geusun Ulun yang menyebabkan perang antara kedua kerajaan tetangga ini didahului oleh kisah yang amat panjang, yaitu kisah dimana Panembahan Ratu, Geusun Ulun dan Harisbaya masih muda. 

Ketiganya merupakan murid dari Hadiwijaya (Jaka Tingkir/Sultan Pajang I), Sunan Gunung Jati yang tak lain merupakan buyut Panembahan Ratu dikisahkan mengirimkan Panembahan Ratu untuk belajar Ketatanegaraan kepada Jaka Tingkir di Pajang, pun juga demikian dengan Pangeran Santri, beliau mengirimkan anaknya Geusun Ulun ke Pajang untuk menuntut ilmu disana, sementara Harisbaya sendiri dikatakan sebagai seorang puteri Madura yang mengabdikan diri di Pajang[2]. 

Prestasi Panembahan Ratu di Pajang terlihat begitu gemilang, setelah dirasa cukup mumpuni dalam menguasai ilmu ketatanegaraan, Hadiwijaya menikahkan anak perempuanya Ratu Mas Pajang/Ratu Lampok Anggroros dengan Panembahan Ratu, tujuannya untuk mengikat tali persaudaraan dengan Kerajaan Cirebon. Kelak ketika Panembahan Ratu menjadi Raja Cirebon Ratu Mas Pajang kemudian dijadikan permaisuri Kerajaan Cirebon.

Sementara itu, Geusun Ulun yang dianugerahi wajah tampan, ternyata terlibat cinta lokasi dengan Harisbaya, keduanya saling mencintai. Kisah percintaan Geusun Ulun dan Harisbaya kemudian ngambang ketika dalam suatu waktu Geusun Ulung Pulang ke Sumedang untuk menjadi Raja menggantikan ayahandanya yang telah mangkat. 

Baik Panembahan Ratu, maupun Geusun Ulun kini menjadi Raja di negaranya masing-masing, keduanya juga telah berumah tangga, sementara di Pajang Harisbaya selalu mengharap jodoh dengan Geusun Ulun tanpa kepastian. 

Setelah beberapa lamanya waktu, tersiar kabar bahwa di Pajang Hadiwijaya mangkat setelah terjatuh dari Gajah tempurnya pada saat menghadapi pemberontakan yang di lancarkan Sutawijaya, anak Ki Ageng Pamanahan Adipati Mataram. Mendapati mertuanya telah mangkat Panembahan Ratu selaku Sultan Cirebon kemudian menghadiri pemakaman Hadiwijaya di Pajang. 

Tahta Pajang setelah kemangkatan Hadiwijaya kemudian diserahkan kepada Arya Panggiri, Sikap yang dimunculkan Panembahan Ratu dalam menanggapi pemberontakan Mataram terhadap Pajang ini adalah sikap kontra, beliau tetap mendukung Pajang dibawah Arya Panggiri. Atas sikapnya yang mendukung Arya Panggiri inilah kemudian Arya Panggiri menghadiahkan Harisbaya kepada Penembahan Ratu. Setelah peristiwa itu, maka resmilah Harisbaya menjadi istri kedua Panembahan Ratu. 

Pada mulanya perkawinan Panembahan Ratu dengan Harisbaya berjalan lancer, bahkan tidak lama kemudian Harisbaya mengandung anak dari Panembahan Ratu. Kisah kebahagiaan Panembahan Ratu dan Harisbaya kemudian menjadi buyar ketika pada suatu waktu Gesun Ulun bersama keempat senopatihnya berkunjung ke Cirebon. Dalam kunjungan kenegaraan yang diperkirakan memakan waktu berhari-hari itu, rupanya perjumpaan Geusun Ulun dan Harisbaya tak terelakan. 

Keduanya kemudian terlibat cinta lokasi untuk yang kedua kalinya, tapi kali ini Harisbaya sudah menjadi istri orang, Geusun Ulunpun sebenarnya sadar betul dengan keadaan itu, adakalanya beliau menjaga jarak agar sakit dalam hatinya tak begitu menggigit. Jika Geusun Ulun mampu menahan cinta yang melonjak, maka tidak demikian dengan Harisbaya, ia memilih menerjang rasa malu demi berjumpa dengan Geusun Ulun, kekasih masa lalunya. Dalam perjumpaan terakhir sebelum Geusun Ulun pulang kembali ke Sumedang rupanya Harisbaya memohon dengan berlinang air mata agar Geusun Ulun membawa serta dirinya ke Sumedang. Tentu saja hal tersebut ditolak oleh Geusun Ulun.

Tapi cinta rupanya buta, Geusun Ulun merasa gelisah, dalam fikirnya terbayang permintaan Harisbaya yang diringi linangan air mata itu, ia pun kemudian mendiskusikan dengan Senopatinya Jayaperkasa tentang duduk persoalan permintaan Harisbaya itu. Anehnya Jayaperkasa justru menyambut baik, bahkan ia menganjurkan agar Rajanya membawa lari Ratu Harisbaya ke Sumedang. Mendapati anjuran Senopatih kepercayanya itu maka semakin butalah cinta Geusun Ulun terhadap Harisbaya.

Jayaperkasa adalah Senopati Kerajaan Sumedang, ia merupakan mantan pembesar Kerajaan Pajajaran, beliau dahulu merupakan bagian dari tim pengantar mahkota Bhinokasih Kerajan Pajajaran selepas kerajaan itu ditaklukan Cirebon dan Banten. Kerajaan Sumedang ini merupakan pewaris Kerajaan Pajajaran setelah keruntuhanya, karena Raja Pajajaran terakhir sebelum ditaklukan Cirebon dan Banten menunjuk Sumedang Larang sebagai pewaris sahnya, sebab itulah Raja Pajajaran mengirimkan mahkotanya ke Sumedang Larang[3].

Baca Juga:
Kerajaan Pajajaran, Masa Pendirian, Kejayaan Dan KeruntuhannyaKerajaan Cirebon, Masa Pendirian, Kejayaan Dan KemundurannyaKerajaan Banten, Masa Pendirian Kejayaan Dan Keruntuhannya

Jayaperkasa menghendaki perang dengan Cirebon, sebab baginya Cirebon harus kembali dikuasai, apalagi waktu itu Cirebon dianggapnya lemah karena sekutunya Pajang telah menghadpai masalah pemberontakan Mataram di dalam negerinya. Sebab itulah dia memanfaatkan cinta buta Rajanya untuk memantik peperangan dengan Cirebon.

Singkat Cerita, Geusun Ulun bersama senopatihnya kemudian membawa lari Harisbaya, menuju Sumedang. Seluruh penghuni istana bahkan rakyat Cirebonpun kemudian geger, sebab istri Rajanya dibawa lari Raja dari Kerajaan lain.

Selepas dibawa larinya Harisbaya ke Sumedang, kemudian Panembahan Ratu memproklamirkan perang. Jayaperkasa menyambut dengan suka cita pengumuman perang itu, sebab begitulah kehendaknya.

Perang kemudian meletus, Cirebon kemudian mengirimkan tentaranya untuk menggempur Sumedang, dengan semangat berapi-api Patih Jayaperkasa melawan gempuran-gempuran Cirebon. Perang sengit antar dua kerajaan tetangga ini baru Reda setelah Cirebon berhasil menawaskan Patih Jayaperkasa. 

Selepas meninggalnya Jayaperkasa rupanya kemudian disepakati kesepakatan damai antara kedua kerajaan, hal tersebut dimungkinkan timbul karena kesadaraan dari pejabat-pejabat tinggi di Kerajaan Sumedang, sebab tidak semuanya para pejabat tinggi Sumedang setuju dengan tindakan Jayaperkasa.  

Setelah melakukan beberapa perundingan antar kedua kerajaan Islam Sunda ini, dan Panembahan ratu mengetahui jika Harisbaya lah yang meminta dilarikan, maka untuk kemudian Panembahan Ratu mencerai kan Harisbya, akan tetapi imbalan dari talaq yang dijatuhkan panembahan Ratu itu harus ditebus oleh Sumedang dengan menyerahkan wilayah Sindangkasih (Kini Kab Majalengka) kedalam kekuasaan Kerajaan Cirebon, Sumedang kemudian menyanggupi. 

Baca Juga: Biografi Panembahan Ratu Sultan Cirebon Ke II

Dan untuk mengakhiri peperangan dan permusuhan dengan Cirebon, Geusun Ulun kemudian berjanji bahwa anak Panembahan Ratu yang masih dalam kandungan Harisbaya nantinya akan dijadikan Raja Sumedang setelah sepeninggalnya. 

Mendapati keputusan perundingan yang menguntungkan Cirebon itu, maka untuk selanjutnya permusuhan antara kedua Kerajaan Sunda ini kemudian resmi berakhir. 

Sementara itu, untuk menghindari konflik dengan keluarganya, Geusun Ulun kemudian membagi-bagikan waris kepada anak-anak dari istrinya yang lain berupa pembagian wilayah dan jabatan Adipati di seluruh wilayah kerajaan Sumedang Larang. 

Begitulah Geusun Ulun, setelah peristiwa itu kemudian ia hidup bahagia dengan kekasih hatinya, pernikahan beliau dengan Harisbaya terjadi pada tanggal 2 bagian terang bulan waisak tahun 1509 saka, bertepatan dengan tanggal 10 april 1587 masehi, atau 2 tahun setelah peristiwa dilarikanya Ratu Harisbaya dari Istana Cirebon[4]. Baginya cinta lebih penting ketimbang Kerjaan Sumedang Larang dan seisinya.