11/1 <?> ♀ Nyai Ratu Kawunganten [Pajajaran]
kelahiran: ISTRI KE 1 (berputra 2), Surasowan-Banten
perkawinan: <1> ♂ 14.1.1. Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah (Muhammad Nuruddin/Sri Mangana) [Akbar] b. 1448 d. 1568
perkawinan: <1!> ♂ 14.1.1. Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah (Muhammad Nuruddin/Sri Mangana) [Akbar] b. 1448 d. 1568
Istri yang pertama Sunan Gunung Jati adalah Nyai Ratu Kawunganten, putri bupati Kawunganten Banten. Darinya, Sunan Gunung Jati mempunyai 2 orang anak. Yakni 1. Nyai Ratu Winahon/Nyai Ratu Winangun dan Maulana Hasanudin, yang kemudian menjadi Sultan Banten. Hubungan dengan Demak terjalin karena Maulana Hasanuddin sendiri, menikahi salah seorang putri Sultan Trenggono, raja Demak ketiga.
2
31/2 <1+1> ♀ 4.1.1.6. Ratu Winahon / Ratu Winangun [Gunung Jati]
kelahiran: 1477
perkawinan: <2> ♂ Fachrullah Khan / Faletehan (Fadhillah Khan)[Khan] d. 1570
22/2 <1+1> ♂ 14.1.1.1. Maulana Hasanuddin / Pangeran Sabakingkin (Pangeran Hasanuddin)[Kasultanan Banten]
kelahiran: 1478, Cirebon
perkawinan: <3> ♀ 3.4.1.1.3. Ratu Ayu Kirana[Azmatkhan]
gelar: 1552 - 1570, Sultan Banten I
kematian: 1570, Banten
== Kesultanan Banten 1527-183 ==
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya Ibukota Surosowan, Kota Intan Bahasa Sunda, Jawa, Melayu, Arab,[1] Agama Islam Pemerintahan Kesultanan
Sultan - 1527-1552 sebagai bawahan Demak - 1552–1570 ¹ Maulana Hasanuddin - 1651–1683 Ageng Tirtayasa Sejarah - Serangan atas Kerajaan Sunda 1527 - Aneksasi oleh Hindia-Belanda 1813
Artikel ini bagian dari seri Sejarah Indonesia
Garis waktu sejarah Indonesia Sejarah Nusantara
Prasejarah Kerajaan Hindu-Buddha Kutai (abad ke-4) Tarumanagara (358–669) Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7) Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13) Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9) Kerajaan Medang (752–1006) Kerajaan Kahuripan (1006–1045) Kerajaan Sunda (932–1579) Kediri (1045–1221) Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14) Singhasari (1222–1292) Majapahit (1293–1500) Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15) Kerajaan Islam Penyebaran Islam (1200-1600) Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521) Kesultanan Ternate (1257–sekarang) Kerajaan Pagaruyung (1500-1825) Kesultanan Malaka (1400–1511) Kerajaan Inderapura (1500-1792) Kesultanan Demak (1475–1548) Kesultanan Kalinyamat (1527–1599) Kesultanan Aceh (1496–1903) Kesultanan Banten (1527–1813) Kesultanan Cirebon (1552 - 1677) Kesultanan Mataram (1588—1681) Kesultanan Siak (1723-1945) Kerajaan Kristen Kerajaan Larantuka (1600-1904) Kolonialisme bangsa Eropa Portugis (1512–1850) VOC (1602-1800) Belanda (1800–1942) Kemunculan Indonesia Kebangkitan Nasional (1899-1942) Pendudukan Jepang (1942–1945) Revolusi nasional (1945–1950) Indonesia Merdeka Orde Lama (1950–1959) Demokrasi Terpimpin (1959–1965) Masa Transisi (1965–1966) Orde Baru (1966–1998) Era Reformasi (1998–sekarang)
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pembentukan awal
De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3] Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]
3
61/3 <2+?> ♂ 14.1.1.1.1. Maulana Yusuf / Pangeran Pasareyan [Kasultanan Banten]
gelar: 1570 - 1582, Banten, Sultan Banten II
kematian: 1585
42/3 <2+?> ♀ 4.1.1.1.3. Syarifah Fatimah / Ratu Winahon II [Banten]
53/3 <2> ♀ 4.1.1.1.2. Syarifah Khadijah [Cirebon]
74/3 <2> ♂ (Poss) Child of Maulana Hasanuddin [Cirebon]
85/3 <2+?> ♂ 4.1.1.1.4. Pangeran Arya Japara [Banten]
96/3 <2+?> ♂ 4.1.1.1.5. Pangeran Suniararas [Banten]
107/3 <2+?> ♂ 4.1.1.1.6. Pangeran Pajajaran [Banten]
118/3 <2+?> ♂ 4.1.1.1.7. Pangeran Pringgalaya [Banten]
129/3 <2+?> ♂ 4.1.1.1.8. Pangeran Sabrang Lor [Banten]
1310/3 <2+?> ♀ 4.1.1.1.8. Ratu Keben [Banten]
1411/3 <2+?> ♀ 4.1.1.1.9. Ratu Terpenter [Banten]
1512/3 <2+?> ♀ 4.1.1.1.10. Ratu Biru [Banten]
1613/3 <2+?> ♀ 4.1.1.1.11. Ratu Ayu Arsanengah [Banten]
1714/3 <2+?> ♂ 4.1.1.1.12. Pangeran Pajajaran Wado [Banten]
1815/3 <2+?> ♂ 4.1.1.1.13. Tumenggung Wilatikta [Banten]
1916/3 <2+?> ♀ 4.1.1.1.14. Ratu Ayu Kamudarage [Banten]
2017/3 <2+?> ♂ 4.1.1.1.15. Pangeran Sabrang Wetan [Banten]
4
211/4 <4+?> ♂ 2.1.1.1. Raden Aryawangsa / Sultan Muhamad Wangsa Adipati Pakuan [Azmatkhan]
gelar: Penasehat Sultan Banten III
Kiprah Putra Pati Unus di Banten
Sebagian riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Mawlana Abdul Qadir.
Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga paman beliau sendiri karena Ibunda beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang disebut diatas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah beliau wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam ,sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.
LAMBANG KESULTANAN BANTEN
242/4 <6> ♂ 14.1.1.1.1.14. Maulana Muhammad / Pangeran Sedangrana [Kasultanan Banten]
gelar: 1585 - 1596, Banten, Sultan Banten III
kematian: 1596, Palembang
223/4 <5+?> ♂ Mas Sulaiman Mojoagung [Basyaiban]
234/4 <7> ♂ (Poss) Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]
255/4 <6> ♂ 4.1.1.1.1.1. Pangeran Arya Upapati [?]
266/4 <6> ♂ 4.1.1.1.1.2.Pangeran Arya Adikara [?]
277/4 <6> ♂ 4.1.1.1.1.3. Pangeran Arya Mandalika [Gunung Jati]
288/4 <6> ♂ 4.1.1.1.1.4. Pangeran Arya Ranamanggala [Gunung Jati]
299/4 <6> ♂ 4.1.1.1.1.5. Pangeran Arya Seminingrat [Gunung Jati]
3010/4 <6> ♀ 4.1.1.1.1.6. Ratu Demang [Gunung Jati]
3111/4 <6> ♀ 4.1.1.1.1.7. Ratu Pecatanda [Gunung Jati]
3212/4 <6> ♀ 4.1.1.1.1.8. Ratu Rangga [Gunung Jati]
3313/4 <6> ♀ 4.1.1.1.1.9. Ratu Ayu Wiyos [Gunung Jati]
3414/4 <6> ♀ 4.1.1.1.1.10. Ratu Manis [Gunung Jati]
3515/4 <6> ♂ 4.1.1.1.1.11. Pangeran Manduraraja [Gunung Jati]
3616/4 <6> ♂ 4.1.1.1.1.12. Pangeran Widara [Gunung Jati]
3717/4 <6> ♀ 4.1.1.1.1.13. Ratu Belimbing [Gunung Jati]
5
LAMBANG KESULTANAN BANTEN
391/5 <24+?> ♂ 14.1.1.1.1.1.1. Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir / Pangeran Ratu[Kasultanan Banten]
perkawinan:
gelar: 23 Juni 1596 - 10 Maret 1651, Banten, Sultan Banten IV
kematian: 10 Maret 1651, Pemakaman Kenari Banten
berputra : Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota) Ratu Dewi Ratu Ayu Pangeran Arya Banten Ratu Mirah Pangeran Sudamanggala Pangeran Ranamanggala Ratu Belimbing Ratu Gedong Pangeran Arya Maduraja Pangeran Kidul Ratu Dalem Ratu Lor Pangeran Seminingrat Ratu Kidul Pangeran Arya Wiratmaka Pangeran Arya Danuwangsa Pangeran Arya Prabangsa Pangeran Arya Wirasuta Ratu Gading Ratu Pandan Pangeran Wirasmara Ratu Sandi Pangeran Arya Jayaningrat Ratu Citra Pangeran Arya Adiwangsa Pangeran Arya Sutakusuma Pangeran Arya Jayasantika Ratu Hafsah Ratu Pojok Ratu Pacar Ratu Bangsal Ratu Salamah Ratu Ratmala Ratu Hasanah Ratu Husaerah Ratu Kelumpuk Ratu Jiput Ratu Wuragil
382/5 <23> ♂ (poss) Great Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]
6
LAMBANG KESULTANAN BANTEN
411/6 <39> ♂ 14.1.1.1.1.1.1.1. Sultan Abul Muali Ahmad [Kasultanan Banten]
gelar: Banten, Sultan Banten ke V
berputra : Abul Fath Abdul Fattah Ratu Panenggak Ratu Nengah Pangeran Arya Elor Ratu Wijil Ratu Puspita Pangeran Arya Ewaraja Pangeran Arya Kidul Ratu Tinumpuk Ratu Inten Pangeran Arya Dipanegara Pangeran Arya Ardikusuma Pangeran Arya Kulon Pangeran Arya Wetan Ratu Ayu Ingalengkadipura
Masa Raja / Sultan Banten ke-5
Pada 1636, Syarif Mekkah di Arab di bawah otorisasi Kesultanan Turki turut memberikan pula gelar sultan kepada putra Mahkota Sultan Banten Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qodir, dengan gelar Sultan Abul Ma’ali Ahmad. Penggelaran ini secara administratif membagi pembagian tugas sang putra Mahkota sebagai Sultan Wakil yang membantu mengurus urusan dalam negeri Banten. Sedangkan Sultan Penuh lebih mengurus urusan luar negeri Banten.
Sultan Abul Ma’ali Ahmad berjasa mengedarkan uang Banten yang dibuat dari besi dan Timah. Beliau meninggal lebih dulu daripada ayahnya yakni pada tahun 1650, sehingga hak kepewarisan tahta jatuh kepada anak beliau atau cucu dari Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir yakni kepada Pangeran Surya yang bergelar Sultan Abul Fath Abdul Fattah alias Sultan Ageng Tirtayasa.
402/6 <38> ♂ (poss) 2 Great Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]
7
LAMBANG KESULTANAN BANTEN
431/7 <41+?> ♂ 1. Sultan Ageng Tirtayasa / Pangeran Surya (Pangeran Ratu/Pangeran Dipati)[Kasultanan Banten]
kelahiran: 1631, Banten
gelar: 1651 - 1683, Banten, Sultan Banten ke VI
kematian: 1692, Batavia
berputra : Sultan Haji Pangeran Arya ‘abdul ‘Alim Pangeran Arya Ingayudadipura Pangeran Arya Purbaya Pangeran Sugiri Tubagus Rajasuta Tubagus Rajaputra Tubagus Husaen Raden Mandaraka Raden Saleh Raden Rum Raden Mesir Raden Muhammad Raden Muhsin Tubagus Wetan Tubagus Muhammad ‘Athif Tubagus Abdul Ratu Raja Mirah Ratu Ayu Ratu Kidul Ratu Marta Ratu Adi Ratu Ummu Ratu Hadijah Ratu Habibah Ratu Fatimah Ratu Asyiqoh Ratu Nasibah Tubagus Kulon
Masa Raja / Sultan Banten ke-6
Sepeninggal Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684) yang diakui negara RI sebagai salah satu Pahlawan Nasional dari Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar yang bernama Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Banten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin hubungan baik. Demikian pula hubungannya dengan Cirebon, sejak awal telah terjadi hubungan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton adalah keturunan Syarif Hidayatullah). Banten membantu Cirebon dalam membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan Banten masuk ke dalam keraton Cirebon dan turut mencakupnya.
Selain membawa Banten ke puncak kejayaannya, sayangnya bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal sebagai Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian dengan siasat devide et impera, mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian didukung VOC untuk mempertahankan hak tahta kekuasaan atas Banten yang sebenarnya belum saatnya untuk dipegang namun merupakan siasat adu domba Belanda. Hal ini membawa Banten terjebak pada konflik hingga Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggal tahun 1692.
422/7 <40> ♂ (poss) 3 Great Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]
8
LAMBANG KESULTANAN BANTEN
451/8 <43> ♂ 1. Sultan Haji / Sultan Abu Nashr Muhammad Abdul Kahar [Kasultanan Banten]
gelar: 1683 - 1687, Sultan Banten Ke VII
berputra: Sultan Abdul Fadhl Sultan Abul Mahasin Pangeran Muhammad Thahir Pangeran Fadhludin Pangeran Ja’farrudin Ratu Muhammad Alim Ratu Rohimah Ratu Hamimah Pangeran Ksatrian Ratu Mumbay (Ratu Bombay)
Masa Raja / Sultan Banten ke 7
Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687) Denga gelar Sultan Abu Nashr Muhammad Abdul Kahar. Penobatan ini disertai beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang meminimalkan kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu, didirikan pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karena tidak ada kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
Penderitaan rakyat semakin menjadi karena monopoli perdagangan VOC. Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan tekanan dari VOC yang tuntutannya sesuai perjanjian harus diturut. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Sultan Haji
Sultan Haji merupakan salah seorang putera dari Sultan Abulfath Abdulfattah atau Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten. Namanya Sultan Abunnashri Abdulkahar atau Abdulqohhar namun lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Ia mendapatkan tahtanya bekerja sama dengan Belanda setelah menggulingkan ayahnya. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi, mengingat jika ia pewaris syah dari Kesultanan Banten seharusnya tanpa melakukan kudeta terhadap ayahnya pun, ia dapat menerima tahta tersebut.
Masalah ini dimungkinkan ketidak sabaran Sultan Haji untuk segera menduduki jabatannya, karena ada putra Sultan Ageng lainnya yang bernama Pangeran Purbaya dianggap mampu menggantikan Sultan Ageng, atau Sultan merasa kurang sreg terhadap perilaku Sultan Haji. Namun dimungkinkan pula ada hasutan Belanda, mengingat hubungan Belanda dengan Sultan Ageng dan para pendahulunya kurang baik. Sedangkan jika mendukung Sultan Haji maka Belanda akan lebih mudah menguasai perdagangan di Banten.
Spekulasi terakhir ini yang mungkin paling mendekati, mengingat ada simbiosa mutualisma antara Belanda yang bertujuan melancarkan kepentingan dagangnya dan Sultan Haji yang mengincar jabatan kesultanan. Ketika terjadi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji yang dibantu Belanda istana habis terbakar, tidak sedikit pula perkampungan menjadi musnah.
Sejak Sultan Haji bertahta banyak peristiwa-peristiwa yang sangat merugikan Kesultanan Banten, baik masalah perekonomian negara maupun perpolitikannya. Banyak sudah pemberontakan yang dilakukan rakyat termasuk para pendukung setia Sultan Ageng. Tabiat Sultan Haji dalam menghadapi Belanda pun sangat bertolak belakang dengan para pendahulunya. Sultan Haji sangat mengandalkan bantuan militer dan bantuan ekonomi Belanda, berakibat Banten tidak lagi memiliki kedaulatan penuh, bahkan Belanda sangat mempengaruhi struktur pemerintahan Banten.
Kata Untoro (2007) menyebutkan, sejak ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 april 1684 praktis kukuasaan Kesultanan Banten dapat dianggap runtuh. Lebih lanjut menyebutkan : Perjanjian antara Kesultanan Banten dengan Belanda ditandatangani di Keraton Surasowan, dibuat dalam bahasa Belanda dan Jawa dan Melayu. Penanndatanganan dari pihak Kompeni dilakukan oleh komandan dan presiden komisi Franscois Tack, Kapten Herman Dirkse Wendepoel, Evenhart van der Schuere serta Kapten bangsa Melayu, Wan Abdul Kahar, sedangkan dari pihak Banten dilakukan oleh Sultan Abdul Kahar, pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tadjudin, pangeran Natanegara, dan pangeran Natawijaya (Tjandrasasmita : 1967 : 54). Sejak perjanjian tersebut Kompeni secara langsung aktif menentukan monopoli perdagangan Banten.
Beberapa diantara peninggalannya yang monumental, ia membangun daerah-daerah yang rusak akibat perang, selain itu ia membangun kembali istana Surosowan. Untuk membangun istana Surasowan iapun meminta bantuan Cardeel, seorang arsitek Belanda. Iapun mengganti cara berpakaian dari berpakaian ala Banten menjadi cara berpakaian Arab, sekalipun pernah ditentang oleh Sultan Ageng ketika ia masih berkuasa.
Sultan Haji meninggal dan dimakamkan di Sedakingkin, sebelah utara mesjid Agung, sejajar dengan makam Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji dikarunia beberapa orang anak, antara lain Pengeran Ratu yang kemudian menggantikan tahtanya sebagai Sultan Banten yang dikenal dengan sebutan Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya (1687-1690), Raja / Sultan kedelapan di Kesultanan Surasowan Banten.. Namun hanya sebentar dan tidak mempunyai keturunan.
http://gentong-pusaka.blogspot.co.id/2013/01/sultan-haji.html
442/8 <42> ♂ (poss) 4 Great Grand Son of Maulana Hasanuddin [Cirebon]
463/8 <43> ♂ 2. Pangeran Purbaya [Kasultanan Banten]
perkawinan: <4> ♀ Raden Ayu Gusik Kusuma [Kartasura]
474/8 <43+?> ♂ 5. Pangeran Sugiri/Pangeran Sogiri/Pangeran Shogiry/Pangeran Sageri [Kasultanan Banten]
485/8 <43> ♂ 3. Pangeran Arya Ingayudadipuna [Kasultanan Banten]
496/8 <43> ♂ 4. Pangeran Arya Abdul ‘Alim [Kasultanan Banten]
507/8 <43> ♂ 6. Tubagus Rajasuta [Kasultanan Banten]
518/8 <43> ♂ 7. Tubagus Rajaputna [Kasultanan Banten]
529/8 <43> ♂ 8. Tubagus Husen [Kasultanan Banten]
5310/8 <43> ♂ 9. Raden Mandaraka [Kasultanan Banten]
5411/8 <43> ♂ 10. Raden Saleh/Pangeran Shoheh/Pangeran Sake – Makam di Citeureup [Kasultanan Banten]
5512/8 <43> ♂ 11. Raden Sum [Kasultanan Banten]
5613/8 <43> ♂ 12. Raden Mesir [Kasultanan Banten]
5714/8 <43> ♂ 13. Reden Muhammad [Kasultanan Banten]
5815/8 <43> ♂ 14. Raden Muhsin [Kasultanan Banten]
5916/8 <43> ♂ 15. Tubagus Wetan [Kasultanan Banten]
6017/8 <43> ♂ 16. Tubagus Muhammad Athif [Kasultanan Banten]
6118/8 <43> ♂ 17. Tubagus Abdul [Kasultanan Banten]
6219/8 <43> ♀ 18. Ratu Baja Mirah [Kasultanan Banten]
6320/8 <43> ♂ 19. Tubagus Kulon [Kasultanan Banten]
6421/8 <43> ♀ 20. Ratu Kidul [Kasultanan Banten]
6522/8 <43> ♀ 21. Ratu Marta [Kasultanan Banten]
6623/8 <43> ♀ 22. Ratu Adi [Kasultanan Banten]
6724/8 <43> ♀ 23. Ratu Uinu [Kasultanan Banten]
6825/8 <43> ♀ 24. Ratu Hadija [Kasultanan Banten]
6926/8 <43> ♀ 25. Ratu Habibah [Kasultanan Banten]
7027/8 <43> ♀ 26. Ratu Fatimah [Kasultanan Banten]
7128/8 <43> ♀ 27. Ratu Asyiqoh [Kasultanan Banten]
7229/8 <43> ♀ 28. Ratu Nasibah [Kasultanan Banten]
7330/8 <43> ♀ 29. Ratu Ayu [Kasultanan Banten]
halaman istimewa