Sabtu, 13 April 2019

Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun

Pangeran Angkawijaya yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun dalam silsilah keluarga Sumedang adalah putra Pangeran Kusumahdinata I (Pangeran Santri) selain dianggap sebagai raja daerah atau mandala Kerajaan Sumedang Larang juga mendapat gelar jabatan Nalendra dari Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Prabu Geusan Ulun

Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun

Nama lainPangeran Angkawijaya, Pangeran Kusumadinata IIPekerjaanRaja Sumedang LarangDikenal atasRaja Mandala Sumedang Larang,Suami/istri

Nyi Mas Cukang Gedeng Waru


Ratu Harisbaya


Nyi Mas Pasarean


Anak

Dari Gedeng:[1]

Pangeran Rangga Gede alias Kusumahdinata III.


Raden Aria Wiraraja I.


Ki Kadu Rangga Gede.


Ki Rangga Patra Kelana.


Ki Aria Rangga Pati.


Ki Ngabehi Watang.


Nji Mas Demang Cipaku.


Nji Mas Ngabehi Martayuda.


Nji Mas Rangga Wiratama.


Raden Rangga Nitinagara alias Dalem Rangga Nitinagara.


Nji Mas Rangga Pamade.


Nji Mas Dipati Ukur.


Pangeran Tumenggung Tegal Kalong.


Kiai Demang Tjipakoe.


Dari Harisbaya[2]

Pangeran Aria Suriadiwangsa.[2][3][4]


Pangeran Tumenggung Tegal Kalong.[2][5]


Raden Rangga Nitinagara.[2][6]


Raden Arya Wiraraja I.[2]


Dari Pasarean

Ki Demang Cipaku.[butuh rujukan]


Orang tua

Kusumahdinata I alias Pangeran Santri alias Ki Gedeng Sumedang).


Ratu Pucuk Umunalias Ratoe Inten Dewata alias Satyasih.


Kerabat

Demang Rangga Dadji.


Demang Watang.


Santowaan Wirakusumah.[7]


Santoan Tjikeroeh.


Santoan Awi Luar.


PenghargaanNalendra Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Makam Prabu Geusan Ulun Adji Putih yang terletak di komplek pemakaman Dayeuh Luhur Kabupaten Sumedang.

Dia dijadikan titik tolak urutan para keturunan Sumedang serta diposisikan sebagai Bupati pertama walaupun istilah Bupati belum dikenal pada waktu itu. Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang memerintah Sumedang secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan/ kerajaan kepada salah satu putranya yang bernama Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II dan bergelar Nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610

Meneruskan kepemimpinan Pakuan PajajaranSunting

 

Halaman dari Babad Pajajaran, biografi paling lengkap mengenai Prabu Siliwangi. Disalin ulang di Sumedang pada abad 19 dengan bahasa dan aksara Jawa.

Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh empat Kandage Lante (bangsawan/ abdi raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah bubar juga meminta agar Prabu Geusan Ulun meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih(Mahkota Binokasih) berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Ke empat Kandaga Lante tersebut adalah :

Batara Sang Hyang Hawu (Sanghyang Hawu atau lebih dikenal sebagai Eyang atau Embah Jaya Perkasa).


Batara Pancar Buana (Terong Peot).


Batara Dipati Wiradijaya (Nangganan).


Batara Sang Hyang Kondang Hapa.


Dengan kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran(seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya/Raga Mulya/ Suryakancana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena dia keburu meninggal dunia. Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit bagi dia untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Kerajaan Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuatan besar kerajaan yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon yang sama-sama mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran.

Pada masa pemerintahannya terkenal dengan peristiwa yang menggemparkan sekaligus memalukan yaitu, dibawa kaburnya Ratu Harisbaya salah satu istri Raja Cirebon Pangeran Girilaya Panembahan Ratu pada saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Keraton Cirebon sekembalinya dari Kerajaan Demak dalam rangka memperdalam agama Islam, terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan dia terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya. Meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Majalengka diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya, sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya dia wafat dan dimakamkan disana bersama Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri kedua dan memiliki anak salah satunya bernama Suriadiwangsayang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata IV, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata III, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh kedua putranya diatas.

Dalam masa Kesultanan MataramSunting

Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram-Jawa Tengah di bawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatar belakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Suriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan.

Setibanya di Mataram dia menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I. Penghargaan lain dari Sultan Agung ialah menjuluki wilayah kekuasaan Sumedang tersebut dengan nama Prayangan artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus. Di kemudian hari dengan lafal setempat nama Prayangan berubah menjadi Priangan, berbeda dengan kata Parahyangan (Para-Hyang-an) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang).

 

Sultan Agung Mataram

Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri di bawah pretensi atau proteksi Mataram:

Hanya Kerajaan atau Kesultanan Mataramdi bawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten.


Ratu Harisbaya merupakan kerabat Raja atau Sultan Mataram, sehingga yang berangkat ke Mataram adalah putranya sendiri (Raden Suriadiwangsa alias Rangga Gempol I).


Seperti halnya Sumedang Larang, Kerajaan atau Kesultanan Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh, sehingga masih memiliki kekerabatan.


Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran, dibarengi pula rasa takut menghadapi kemungkinan ekspansi Kesultanan Banten dalam rangka menguasai wilayah bekas Pakuan Pajajaran.


Akibat peristiwa Harisbaya hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis, timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon.


Sementara itu sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon sementara Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuasaan tadi sehingga mengambil jalan keluar dengan mengabdikan diri ke Mataram, yang memiliki kekuatan melebihi kedua Kesultanan tadi.[8]


Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ± 30 tahun kemudian pada periode pemerintahan Pangeran Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan) itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda. Aria Suriadiwangsa alias Kusumadinata IV alias Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernurmasa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten(sebelum Banten menjadi propinsi di era reformasi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede alias Pangeran Kusumahdinata III, tidak berapa kemudian dia mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang Madura.

Lihat pulaSunting

Kerajaan Kendan


Kerajaan Galuh


Kerajaan Panjalu


Kerajaan Salakanagara


Kerajaan Tarumanagara


Kerajaan Sunda


Kerajaan Talaga Manggung


Kerajaan Galunggung


Kerajaan Sunda Galuh


Kerajaan Pajajaran


Kerajaan Tembong Agung


Kerajaan Sumedang Larang


Prabu Geusan Ulun


Kesultanan Cirebon


Kesultanan Banten


Provinsi Pasundan


Daftar provinsi Indonesia


Daftar Tokoh Sunda


Tokoh Sunda


Sunda


Bacaan lanjutSunting

Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.


Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.


Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.


Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.


Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, 2 vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.


Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.


Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.


Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia.


E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.


Atja, Drs. (1970). Ratu Pakuan. Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung.


Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). Sadjarah Sunda. Bandung. Ganaco Nv.


Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah.Pengharepan. Bandoeng,


Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. CV. Satya Historica. Bandung.


Herman Soemantri Emuch. (1979). Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Universitas Indonesia. Jakarta.


Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.


Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Sanggar SGB. Ciamis.


Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Cirebon.


Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983). Kerajaan Carbon 1479-1809. PT. Tarsito. Bandung.


Suparman, Tjetje, R. H., (1981). Sajarah Sukapura. Bandung


Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950.CV.Rapico. Bandung.


Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang. CV Pustaka Setia.


Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu Siliwangi. CV Pustaka Setia.


Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.


Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. (1960). Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580. Kujang. Bandung.


Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.


Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647. PT. Buku Kita. Yogyakarta Bagikan.


A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. (2004). Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Pusat Studi Sunda.


A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). (2008).Sejarah Purwakarta.


Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. (2000). Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat. Alqaprint. ISBN 979-95652-4-3.


Pranala

Catatan kakiSunting

^ Erni Muthalib (Sabtu, 07 April 2012). "Silsilah Keluarga Pangeran Santri Koesoemadinata". Erni Muthalib Blog. Diakses tanggal 3 Agustus 2015.


^ a b c d e Uka Tjandrasasmita (2009). "Arkeologi Islam Nusantara". Kepustakaan Populer Gramedia. Diakses tanggal 3 Agustus2015.


^ Hardjasaputra, A. Sobana. (Jumat, 21 Juni 2013). Permasalahan Dalam Sejarah Sumedang - Tinjauan Akademis, Blog Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra. Diakses 8 Agustus 2015.


^ Nama alias Pangeran Dipati Rangga Gempol I alias Kusumahdinata IV. Bupati Wedana Mataram I untuk seluruh wilayah Pasundan.


^ Mertua Sultan Mataram


^ Yang menurunkan para bupati dan pembesar (Keluarga Wangsatanu).


^ Pangeran Santowaan Wirakusumah keturunannya berada di Pagaden dan PamanukanSubang.


^ Faktor ini dapat disebabkan karena, Kerajaan atau Kesultanan BantenCirebon dan Mataram sangat kuat pada masa itu, mereka memiliki pantai-pelabuhan tempat berbagai kegiatan bukan hanya perdagangan tetapi juga masuknya persenjataan modern ukuran masa itu.

KITAB SUNDA

BERBAGI INFORMASI TENTANG BUDAYA, ARKEOLOGI, ASTRONOMI, DAN WACANA YANG BERMANFAAT


MenuRumahBeritaBudaya- Budaya- Naskah kuno- Aksara Sunda kunoSejarah- Sejarah Dunia- Sejarah Sunda- Sejarah NusantaraFilsafatOpiniFigurArkeologiMitologi- Legenda & Mitos- Tafsir MimpiFitur- SiteMap

Ini adalah Alkitab

oleh Admin Historiana pada 07 September 2018pada 2018 , agama , agama Sunda , Budaya ,Sunda Buhun 

Foto: mytrip.co.id[Historiana] - Sebelumnya kita sudah membahas agama (agama) Sunda Buhun atau Sunda Jati . Deskripsi dan definisi dari Sunda Jat sudah kita bahas, Silakan klik tautan di atas. 

Kali ini kami sedang mencari apa kitab suci Sunda Buhun atau Sunda Jati Sunda? 

Menururt Anis Djatisunda, "Sampai hari ini saya belum menemukan pendapat para ahli yang berani memastikan, apa agama orang Sunda di Sunda Lama." Terlepas dari kenyataan bahwa sejarah sejarawan memberikan Hindu dominan dan Buddhisme signifikansi dominan. Sangat Djatisunda berpendapat bahwa agama Sunda kuno disebut Zaman Pajajaran, adalah "Agama Sunda". Dipercayai bahwa beberapa berita yang ditemukan mayoritas telah memberikan kejelasan. Misalnya, kansak kansak-406,Kisah Parahyangan (CP) yang menunjukkan keberadaan para biarawan "yang menggoda cinta Sunda."  Itulah para pendeta yang mengaku dan mempraktikkan Agama Sunda. Saat mereka mempertahankan "parahyangan kabah". 

Indikasi sisa lembaga keagamaan semacam itu, sekarang masih tinggal di komunitas "orang Rawayan (Baduy)" , yang disebut agama "Sunda Wiwitan" dari sisa Sunda Jati Sunda atau Parahiyang, adalah Mandala Kanekes ; pekerjaan mereka. Demi pentahbisan Sunda Jati dengan kesetiaan mereka hingga saat ini, yang sekarang mereka sebut "Sasaka Domas", Sasaka Pusaka Buana atau juga disebut "Sasaka At Agung"

Kesaksian lainnya adalah merujuk pada berita serial Pantun Bogor versi Aki uyut Baju Rambeng. Dalam episode Pantun Bogor "(suci) " Curug Si At Weruh " , diceritakan bahwa:

 "Sebelum kita tidak bisa tidur di Kadu Hejo, kita punya banyak agama, itulah sebabnya kita mencintai agama ..." 


(Sebelum orang Hindu memerintah di Kadu Hejo, nenek moyang kita memiliki agama, 


yaitu istilah agama Sunda).

Hypothesely, yang dimaksudkan sebagai "Urang Hindi" di sini, adalah sosok Dewawarman. Seperti dilansir Perpustakaan Wangsakerta, ia dikumpulkan oleh Aki Tirem alias luhur Mulya, dikawinkan dengan putrinya, Pohaci Larasati , yang kemudian diangkat sebagai Raja di Salakanagara, ibukota Rajatapura (130 - 168 M), menggantikan dirinya sendiri. Nama tempat itu Kadu Hejo, sejalan dengan berita Pantun yang berlokasi di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, masih dinamai demikian. 

Pada tahun 1972 Pastor Sacin (alm), ahli sastra bambu dan mantan Panengen(penasihat Puun ) Baduy Tangtu Cikeusik menjelaskan, bahwa zaman "bajak laut"Pakuan Pajajaran, agama mereka"Agama Sunda Pajajaran" . Sampai sekarang mereka masih agamant, membintangi sumpah yang mereka sebut "Sadat Sunda" (Sunda Sahadat):

"Sadat sadat sedih, sir katata sir katepi, selam larang teu sorang, sir (h) aji pakuan". Sahadat Sunda ini, pernah disebutkan dalam upacara pemujaan di Babalayan Pamujan "Sasaka At Ageung" ( Undangan Baduy).


Beralihlah ke makna kata "Sunda" sebagai nama agama. Dalam mitos Bangsa Pendiri Sunda , berita Pantun Bogor episode Pakulajar Beukah Kembang , Sunda berarti bagian suci atau penyempurnaan ( " artinya teh suci , campuran sempurna" ). Sunda padaawalnya disebut Sunda Buana . Nama itu diberikan oleh  Sanghyang Wenang . Karena, ketika tanah itu masih hamparan kosong, banyak yang dikunjungi orang untuk "mendorong diri sendiri" (menyucikan diri).

"..... di dinya ta hade Jasa pieun panyundaan nyundakeun diri . Pieun nyampurnakeun raga eujeung sukma, abeh bisa ngarasa paeh sajero hirup, ngarasa hirup Sabari paeh".


(... senang memurnikan, menyempurnakan tubuh dan jiwa Anda, bisa merasa mati selama hidup, untuk merasa hidup saat dalam keadaan mati). 

Hari-hari Buana Sunda semakin ramai oleh perekrut . Oleh karena itu, mereka memiliki "uang cinta" jangka panjang (orang suci) - nama kurikulum, "etnis sundaan".

Aksara Sunda: Sambawa. Sambada dan Winasa

Maklum, agama Sunda sudah ada sejak saat itu Dewawarman memerintah di Salakanagara (130 - 168 M). Terhitung sampai saat ini, keberadaannya sudah lebih dari 20 abad bahkan mungkin lebih. Kitab suci disebut Sambawa, Sambada dan Winasa , tiga buku yang ditulis oleh "Raja Resi Wisnu Brata".

 "... pikukuhan Agama Sunda Pajajaran dituliskeun dina Layang Sambawa, Sambada, Winasa anu dituliskeun ku Parbhu Reusi Wisnu Brata. Nya inyana anu tukang tapa ti ngongora. Inyana anu saenyana ngagalurkeun jadi kabehan pada ngarti Agama anu kiwari disebut Agama Sunda Pajajaran tea. Agama anu hanteu ngabeda-bedakeun boroboro ngagogoreng ngahaharuwan agama sejen. Lantaran euweuh agama anu hanteu hade. Anu hanteu hade mah lain agama, tapi metakeun agama jeung laku lampah arinyana anu arembung bae ngarti hartina Ahad teh nunggal nu ngan Sahiji-sahijina, ngan sahiji bae.....".


(Ajaran agama Pajajaran ditulis dalam Sambawa, Sambada, Naskah Winasa yangditulis oleh Prabu Resi Wisnu Brata , yang merupakan pemuja dari kaum muda, dan dialah yang mengundang semua orang untuk memahami agama yang sekarang disebut Sunda Pajajaran . tidak membeda-bedakan atau bahkan tidak menyukai agama-agama lain karena tidak ada agama yang jelek. jelek itu bukan agama, melainkan praktik agama, dan perilaku orang-orang yang tidak mau mengerti arti "ahad" hanya satu, hanya "satu-satu").

Dihipotesiskan oleh tokoh Raja Resi Wisnu Brata menurut cerita Pantun, adalah, Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu '(1175 - 1297 M) berdasarkan catatan sejarah Perpustakaan Wangsakerta. Karena salah satu raja Sunda yang bijaksana dengan bijak seperti Resi dan tak henti-hentinya menyiarkan agama itu, hanya raja ini. 

Mungkin sebelum 3 buku yang ditulisnya, entitas agama sunda selama sekitar 1 milenium (1000 tahun), masih merupakan agama tidak resmi. Tepat sejak Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Agama Sundadisahkan oleh negara. (Diperlukan penelitian lebih lanjut).

Tampaknya pada saat itu, agama Hindu atau Budha mulai memudar. Setidaknya telah jatuh cinta dengan agama. Jadi berbagai kitab suci Buddha-Buddha kurang spesifik di alam. 

Dalam episode Pantun (keramat) Bogor "Tunggul Kawung Bijil Sirung" diceritakan, penyebar Sunda pertama adalah seorang tokoh yang dijuluki "Mundi di Laya Hadi Kusumah" setelah ia mendapatkan Layang Salaka Domas dari "Jagat Jabaning Langit"

Secara harfiah Layang Salaka Domas berarti " Kitab Suci dari Delapan Ayat Hurdred.", dewasa hingga tua (sambada) dan kematian dan kehidupan di alam hyang (winasa). Bagaimana bunyi setiap ayat dalam ketiga kitab suci ini, "Rawayan Urang" (Baduy) merahasiakannya, atau mungkin mereka tidak mengetahuinya lagi. 

Pada masanya Siliwangi masih memerintah di Pakuan Pajajaran, isi dari ketiga kitab suci itu selalu dibaca dalam malam yang sunyi dan sunyi, penuh kedamaian yang berada di puncak upacara Kuwera Bakti di kunjungan Balay Kihara Hyang, langit bebas cahaya yang disinari "resin resin" bercampur cahaya bulan Bulan purnama meluas, dipimpin oleh Brahmesta the Great State Rev.Hari berikutnya ketiganya diarak di dalam "Niskala Wastu Jambana" di sekitar Balay Courtyard dan kemudian ke kompleks Pakuan. 

Kembali ke sosok Mundi di Laya Hadi Kusumah. Siapa itu sebenarnya Tidak ada kisah puisi atau cerita naratif yang menjelaskannya. Sosok seperti "Mundinglaya Dikusumah" putra Prabu Siliwangi terasa mustahil, karena usianya terlalu muda. Dalam nama Laya Hadi Kusumah , nama yang secara filosofis bermakna: "[seseorang] yang telah mampu membawa tingkat kematian yang tinggi, keindahan bunga-bunga", konotasi "seseorang yang telah mampu mengendalikan keinginannya sambil meninggalkan dunia benda," identik dengan " Khalik ".

The Journey of the Sky , sebuah alam semesta di luar alam semesta, di tempat kudus Sang Hyang Tunggal , tentunya sosok ini bukan manusia. The Journey of Heavenadalah "Mandala Ageung". Dalam istilah Baduy kita disebut "Buana Nyungcung" . Tempat tinggal Sang Rumuhung, yang terhebat, Sang Hyang Tunggal. 

Dari pengistilahan nama-nama dzat Sang Maha Pencipta seperti di atas, memberikan indikasi bahwa Orang Sunda sejak masa nirleka pun sudah menganut paham Monotheisme (Satu Tuhan) yakni Tuhan sebagaimana digambarkan dalam Pantun Bogor:

 "Namanya ada di hadapan, tidak ada penampilan tanpa waruga, tidak ada koneksi, tetapi akses kuat ke semua keinginannya." 


Dalam mantra yang disebut "Pajajaran" , disebutkan atributnya, berbunyi:

 "Tuhan adalah satu-satunya yang ada di dunia, menyaksikan di alam semesta semua, di dunia, di dunia."


(Sang Hyang Agung yang Maha Esa, Dialah yang sebenarnya sang "Penyembahan", tiada beranak tiada bersaudara, mempunyai teman pun tidak di Jagat dan di Alam ini. Yang paling unggul di segala-gala. Hung, nah itulah Sang Benar Sejati, Ahung!) Hanya kepadanya orang sunda rnenyembah dan minta perlindungan, sebab hanya Inyana-lah yang memiliki kebenaran sejati dan hakiki.

Dalam keadaan "Tunggal-nya", "Sang Hyang Rumuhung Nu Ngeresakeun" dibantu oleh para "Sang Hyang", seperti '. Sang Hyang WenangSang Hyang Wening, sang Hyang Guru Hyang Tunggal (Guriang Tunggal)Sang Hyang Kala. Sang Hyang Guru Bumi Sang Hyang Ambu Sri Rumbiyang Jati, Sunan Ambudan para Sang Hyang lainnya, sesuai tugas dan wewenangnya rnasing-masing di Jagat dan Alam seisinya.

Sang Hyang yang menempa kepasrahan dalam perjalanan kehidupan manusia adalah Sang Hyang Kala, lazim disebut Dewa Papasten (dewa kepastian) yang menguasai kewenangan "Sang Waktu". Orang Sunda-Nyunda demikian yakin perjalanan hidupnya dikendalikan oleh ketentuan waktu yang diistilahkan "papasten" tadi. Seperti ucapan Sang Hyang Lengser kepada Prabu Siliwangi, yang gagal menyeberang ke Nusa Larang karena diterpa badai dan topan:

 "Dengekeun Gusti! Saha anu bisa ngabendung gunturna waktu, saha anu bisa nyahatkeun talaga lara. saha anu bisa mungpang ka papasten"


(Dengarkan Gusti ! Siapa yang mampu membendung membanjirnya waktu, 


siapa yang bisa mengeringkan telaga kesusahan, siapa yang bisa melawan kepastian). 

Disini tersirat bahwa segala langkah dan upaya, tak akan bisa tercapai apabila belum waktu-nya yang dalam bahasa sunda lama disebut "Uga".

Dalam kolteks sebagai masyarakat berladang, Sanghyang yang diagungkan oleh orang Sunda ialah Sanghyang Amhu Sri Rumbiyang Jati (sebagai Dewi Kesuburan Padi dan tanam-tanaman) dan Sanghyang Ayah Kuwera Guru Bumi atau disebut pula Batara Patanjala (Dewa kesuburan dan kesejahteraan ). Kedua Sanghyang suami isteri ini, sebagai pangbayu hirup hurip manusia sunda. Karenanya dijadikan inti puja dalam kegiatan-kegiatan upacara besar semacam "Lebaran", baik Upacara tahunan Seren Tahun Guru Bumi maupun winduan Upacara Tutug Galur Kuwera Bakti di Pakuan. Waktu kegiatannya berupa pesta akbar setiap selesainya panen padi di ladang.

Kita maklumi, sekarang pun hal demikian masih berlaku di lingkungan masyarakat adat Baduy, Pancer Pangawinan, Naga, Dukuh, Sumedang Larang, Cigugur, bahkan warga masyarakat Kampung Budaya Sindang Barang.

Agama Sunda mernberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Menghadapi proses ini, manusia Sunda dihadapkan kepada dua jagat yang disebut jagat jadi carita dan jagat kari carita (dunia fana dan alam baka). Di jagat kari carita. terdapat mandala dan buana karma atau jagat pancaka. Mandala tersebut terdiri dari 9 tingkat secara vertikal, diantaranya dari bawah keatas: Mandala Kasungka - Mandala Parmana - Mandala Karna - Mandala Rasa - Mandala Seba - Mandala Suda - Jati Mandala - Mandala Samar - Mandala Agung. Setiap roh orang mati, harus masuk dulu ke Mandala Kasungka (mandala paling bawah).

Jika semasa hidupnya tidak-baik, harus pindah dulu ke Kawah Panggodogan di Buana Karma, untuk mendapatkan ujian-ujian. Bagi yang masa hidupnya baik-baik, bisa secara langsung naik sampai ke mandala yang lebih tinggi.

Mandala keenam, Mandala Suda; berupa tempat berkumpulnya para "Karuhun" yang telah bebas untuk pulang pergi ke dunia fana. Ia boleh berwujud lagi, tapi kalau berbicara hanya melalui perasaan. Atau sebaliknya, boleh bersuara biasa tapi mesti tanpa wujud.

Dari Mandala Suda naik lagi ke "Alam Kasucian" yaitu ke Jati Mandala. Di mandala ini terdapat dua pasebanPaseban Pangauban tempat para Karuhun yang sudah bebas untuk kembali lagi ke dunia fana menjenguk yang masih hidup, seraya boleh berwujud dan berbicara seperti biasa. Sebelah atasnya terdapat Papanggung Bale Agung. Di sana berkumpul para Karuhun yang sedang menunggu giliran untuk nitis.
Sebelah atas Jati Mandala ada Mandala Samar. Di Mandala ini yang tinggal para Karuhun yang sudah memiliki jadwal nitis. Mereka sudah tidak perlu lagi naik tahapan mandala, sebab mereka sudah pada habis giliran, untuk kemudian lebur menyatu dengan dzat semesata alam.

Ada tiga tempat sejajar diatas Mandala Samar. Yang ada di tengah, tempat bersemayamnya Sanghyang Gurilyang Tunggal. Sebelah kirinya persemayaman Sang Hyang Wenang, yang kanan Sang Hyang Wening. Ditengah atas ketiganya tempat bersernayamnya Sang Hyang Kala.

Sedangkan yang paling atas sendiri Mandala Agung, jarak dari Mandala Samar kira-kira dua puluh sembilan setengah zaman (dua puluh salapan satengah jaman), atau istilah Urang Kanekes (Baduy) hanya berjarak sagorolong jeruk nipis (segelinding jeruk nipis). Mandala inilah yang juga disebut Jagat Jabaning Langit tempat bersemayamnya "Sang Hyang T'unggal", "anu nunggal bae di sakabeh alam sakabeh jagat" (Tuhan Yang Maha Kuasa, yang "Maha Esa" di seluruh alam dan seluruh Jagat). Suatu Jagat tanpa ruang tanpa waktu, tanpa terang tanpa gelap, tanpa jarak tanpa batas.

Sarana Peribadatan

Sarana sebagai tempat peribadatan Agama Sunda zaman Pajajaran ada tiga macam yang termasuk inti;
l) Balay Pamunjungan, berupa bukit Punden Berundak 12 undakan, yang dibagian puncaknya dan di 2 tingkat di bawahnya terdapat Arca-arca sebanyak 800 buah, yang lazim disebut "Arca Domas". Konon, Balay Pamunjungan yang paling mewah dan megah di Pakuan Pajajaran, pada zarnannya Prabu Siliwangi. Yakni yang disebut Balay Pamuniungan Kihara Hyang berlokasi di"Leuweung Songgom" (hutan songgom) kira-kira wilayah Kampung Bantar Kemang sekarang. Selain lapangan di bawahnya sangat luas juga di puncak bukit yang disebut balay, dipadati oleh arca-arca Emas seutuhnya sebanyak 400 buah. Arca lain yang 400 lagi dari batu, terdapat di tingkat kedua ketiga yang disebut Babalayan.

Punden semacam ini terdapat hanya di Pakuan (pusat kerajaan), sebagai sarana upacara peribadatan "munjung" kepada Hyang Maha Agung baik dalam Seren Taun Guru Bumi (tahunan) maupun Seren Taun Tutug Galur (Kuwera Bakti) delapan tahunan. Bahkan kegiatan-kegiatan upacara kecil lainnya. Sebagai pimpinan keagamaannya disebut Brahmesta yang dibantu oleh para Ganidri, Marakangsa, Puun Meuray, Puun Sari, para Puun dan para Pangwereg Punlung.

Sebagai tempat mandi sucinya, telaga yang terdapat di sungai Cihaliwung, yakni yang disebut Talaga Rena Mahawjaya atau lebih dikenal dengan sebutan Leuwi Sipatahunan. Secara hipotesis Telaga dan Balay Pamunjungan Kihara Hyang (Gugunungan-ngabalay - bukit sebagai balay) ini dibuat oleh Sri Baduga Maharaja sebagaimana tertera dalam prasasti Batutulis Bogor

 ".....ya siya nu nyiyan sakakala gugunungan ngabalay, nyiyan -samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya......"


Karya Prabu Siliwangi ini rnungkin rnerupakan pengganti telaga Sanghyang Rancamaya yang sudah ditimbuni oleh Sang Haluwesi adik Prabu Susuk Tunggal karena disana ada gaib jahat yang selalu muncul. Sebagaimana CP memberitakan :

 "....Sanghyang Haluwesi. nu nyaeuran Sang Hyang Rancamaya. Mijilna ti sanghyang rancamaya: Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hyang banaspati ...".


Yang rnenurut Pantun "Disaeurna talaga Rancahmaya" gaib jahat itu tiap tahun selalu meminta "pimatarameun" (kurban) tujuh pasang manusia muda-mudi yang disebut "Sekar Manah ".

Berita tersebut mengisyaratkan, bahwa pada zamannya Prabu Susuk Tunggal (1382-1482 M) mertuanya Prabu Siliwangi, Telaga Sanghyang Rancamaya sudah tidak difungsikan lagi termasuk Pasir Badigul atau menurut Rajah Pakuan disebut Sanghyang Padungkukan, sebagai Balay pamunjungan-nya. Tentu saja penelitian lebih lanjut masih perlu dilaksanakan.

2). Babalayan Pamujan, ini pun berupa punden yang terdapat di Kabupatian-kabupatian Luar Dayeuh atau Kapuunan-kapuunan. Undakan pada punden macam ini hanya sebanyak 9 atau 7 undak dan tidak terdapat arca-arca, yang ada hanya kumpulan batu-batu besar pada tiap tingkat undakannya. Fungsinya sebagai tempat upacara "Muja" baik kepada para Sanghyang maupun kepada para Karuhun, yang dipimpin oleh Pandita atau Puun dan Kokolot.

3). Saung Sajen (Pancak Saji), berupa bangunan khusus untuk menyimpan sesaji dalam upacara "Nyajen" terbuat semacam rumah panggung mini tanpa kamar-kamar, tapi ada semacam altar untuk penyimpanan sesaji. Bangunan ini terdapat di lingkungan pemukiman baik dekat Keraton, Rumah Puun, Rumah Bupati ataupun rumah warga. Disamping sarana tersebut, masih ada tempat-tempat "sajen" yang tersebar di tempat-tempat yang dianggap memiliki daya gaib atau keramat seperti di depan gua, di bawah pohon besar, di hulu sungai, tengah hutan dsb. Ternpat-tempat semacam itu sebagian besar senantiasa ditandai oleh adanya "batu-batu besar" dan "batu-datar" sebagai wahana penyatuan diri antara manusia dengan sang gaib yang dihormatinya'

Tujuan demi terselenggaranya keselarasan hidup antar sesama makhluk dan unsur alam lainnya sesama ciptaan Sang Hyang Keresa. Sebab dalam ajaran Agama Sunda, makhluk manusia yang sudah "nyunda", mesti menyadari, bahwa yang diistilahkan "utek tongo wolang taga, manusa buta detia, lukut jukut rungkun kayu, keusik karihkil cadas batu, cinyusu talaga Sagara, bumi langit jagat mahpar, angin leutik angin puih, bentang rapang bulan ngempray, Sang herang ngenge nongtoreng. Eta kabeh ciptaan Sang Hyang Tunggal. Keur inyana mah kabeh geh sarua euweuh bedana" (satwa terkecil sampai yang paling besar, manusia-raksasa dan detia, lumut rumput-perdu sampai kekayuan, pasir-kerikil-cadas sampai bebatuan, mata air-telaga sampai lautan, bumi-langit sampai semesta alam, angin semilir sampai angin topan, bintang bertaburan-Bulan terang, Matahari terik. Itu semua ciptaan Sanghyang Tunggal. Bagi-Nya kesemuanya itu sama tidak ada perbedaannya)

Beranjak dari paham inilah, maka bagi Manusia Sunda "alam itu bukan untuk ditaklukan, tetapi harus disahabati, diakrabi bahkan dihormati". Implementasinya, melalui pranata "puja-puji-saji" lewat mandala suci sarana peribadatan tadi.

Sarana peribadatan agama sunda yang disebut-sebut Pantun Bogor diantaranya Balay Pamunjungan Rancamaya-Pasir Badigulpendetanya Resi Tugu Perbangsa, Balay Pamunjungan Kihara Hyang-Sipatahunan, pendetanya (Brarnesta Tunda Pura), Babalayan Pamujan Mandalawangi-Talaga Wana, pendetanya Resi Handeulawangi, Babalayan Parnujan Genter Bumi-Cisakawayana Resi Tutug Windu. Balay Pamunjungan Mandala Parakanjati (SBR)-Sanghyang Tampian Dalem, pendetanya Sanghyang Resi Kumarajati, dll.

Dambaan utama Orang Sunda setelah meninggal, bukan untuk mencari surga, tetapi menghendaki bisa kembali ke "Kahyangan" (Mandala Agung) sebagaimana asalnya, tanpa mesti melewati dulu mandala-mandala di bawahnya. Sebab ketika lahir datang dari mandala "Hyang" tanpa rencana, kembali pun melalui proses "Ngahiyang" tanpa mesti direncanakan menginginkan sorga. Hal inilah yang dalam pengistilahan sunda disebut "mulih kajati mulang ka asal".

Sarana peribadatan Sunda Kuno yang tidak bernuansa Hindu-Budha, jika ditilik dari aspek historis nasional, memiliki nilai-nilai spiritual yang mandiri. Dalam hal ini, jika semua pusat pemerintahan masa silam di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan berdiri megahnya Candi-candi, di pusat-pusat Kerajaan Sunda Pajajaran, Galuh, Talaga, Singaparna juga Kawali, yang jadi penanda kebesarannya adalah "tradisi megalitiknya" bercirikan batu-batu besar. Inilah suatu bukti bahwa orang sunda telah memiliki agama lokal yang cukup mapan.

Sindang Barang Pusat Kegiatan Agama Sunda
Di dalam Rajah Demung Kalagan (Pantun Ki Kamal, 1969.), nama Sindang Barang sudah disebut-sebut sebagai mantra pembuka dan penutup cerita :

 " ...Ulah Sindang Barang geusan tata pangkat diganti deui, sang pamunah sang darma jati, tanah lemah tutup bumi, tutup buana dat mulusna..."


(...Jangan sindang barang sebagai tempat awal agama sunda diganti lagi, yang menyucikan pendeta sang darma jati, tanah tempat penaung dunia, pengayom alam kesempurnaan)

Kata-kata dalam rajah tersebut mengindikasikan bahwa Sindang Barang dikategoikan "tempat suci" bahkan dianggap sebagai penaung dunia dan pengayom dari segala kesempurnaan. Disebutkan pula penata kesuciannya bemarna Sang Darma Jati. Hal ini sejalan dengan berita pantun-gede Ki Uyut Juru Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung, yang menceritakan bahwa:

 Babalayan Sanghyang Parakan Jati, Mandala suci Pamujan Kadatuan Sindang Barang saluareun dayeuh pakuan. Saha tah anu ngeuyeukna...? Nya inyana Pandita Agung anu ngaran inyana Sang Kumara Jati tea. Nya inyana oge anu ngabebenah Sanghyang Talaga Tampian Dalem salebakeunana.


(Babalayan Sanghyang Parakanjati, Mandala suci Pemujaan Kadatuan Sindang Barang sebelah luar ibukota pakuan. Siapa yang mengurusinya? Dialah Pendeta Agung yang namanya Sang Kumara Jati, Dialah juga yang memperindah Sanghyang Talaga Tampian Dalem di sebelah bawahnya)

Berita ini rnernperjelas, bahwa entitas Sindang Barang benar sebagai tempat suci. Memiliki sarana peribadatan Balay Pamujaninti Sanghyang Parakan Jati dan Sanghyang Talaga Tampian Dalem. (Pendeta) Kumara Jati atau Darma Jati orangnya pasti itu-itu juga. Mandala tersebut sebagai ternpat peribadatan agama sunda wilayah Kadatuan Luar Dayeuh Pakuan, Kadatuan Sura BimaSindang Barang.

Perkiraan sementara lokasi telaga ada di lahan luas sebelah bawahnya Kampung Budaya Sindang Barang sekarang, yaitu di Cilegok. Hal ini bisa diasurnsikan bahwa bekas Kabuyutan agama sunda Mandala Parakan Jati masa lalu adalah Kampung Budaya Sindang Barang (Cimenteng) sekarang.

Masih menurut Ki Uyut Juru Pantun, seorang raja Pajajaran bernama Prabu Rakean Heulang Dewata, dikisahkan "dipendem" (dimakarnkan) dekat Hyang Talaga Tarnpian Dalem ( "parek ka Sang Hyang Talaga Tampian Dalem"). Jika tokoh ini identik dengan salah seorang Raja Pajajaran menurut berita sejarah, ia pasti Ratu Dewatabuana (1535-1543 M). Sebab ia pun diberitakan dipusarakan di "sawah" tampian dalem. Secara hipotesis ternpatnya itu-itu juga. Pusara (kuburan) dimaksud perkiraan sementara sebuah Kuburan-kuno panjang 5 meter yang juga berlokasi di Cilegok, sampai sekarang kuburan kuno itu belurn dikenal oleh siapapun (Maki, 2008). Berita lain rnenceritakan Prabu Wisnu Brata rnemerintah Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan"Sanghyang Saka Bumi" di kaki Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede). Di sana ia rnendirikan Balay Pamunjungan "Arca Dornas" di kaki "Giri Parangguh" (Gunung Pangrango) dengan Brahmesla (pendeta agung) pemimpinnya bernama Sang Jati Jatra.

Pada akhir pemerintahannya, Wisnu Brata menyerahkan tahta kerajaan kepada keponakannya bernama Prabu Kalang Carita. Raja ini lalu pindah ke Pakuan Pajajaran dan mendirikan Balay Pamunjurryan Kihara Hyangdi tutugan Ardi Munda Mandala sebelah timurArda Welah.

Disini mungkin ada kekeliruan yang diberitakan Juru Pantun. Yakni antara lokasi Ardi Munda Mandala atau Arda Welah yang kini dikenal dengan nama Gunung Salak, dengan lokasi Kihara Hyang. Pada lakon Pantun yang sarna, Kihara Hyang disebutkan ada di "Leuweung Songgom" di seberang-timur Pakuan, sebelah atasnya Sungai Cihaliwung (sekitar kampung Bantar Kemang sekarang). Dalam lakon Pakujajar di Lawang Gintung versi Jonggol disebutkan "Pamujan di Leuweung Songgom di mumunjul Kihara Hyang, pamujan batu anu tujuh, anu ngundak tilu tumpangan... " Kedua cerita tadi mernberitakan Balay Kihara Hyang adanya di Leuweung Songgom bukan di ujung kaki Gunung Salak.

Sumber lain, Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung;

 " ...Prabu Kalang carita nyieun Pamujan-Agung di mumunggang Giri Dwi Munda Mandala, sajajaran eujeung Taman, disebutna Mandala Sanghyang Parakan Jati, satonggoheun T'alaga Sanghyang Tampian Dalem, nyela bumi ti Kuta Babaton.. " (Prabu Kalang Carita mendirikan Pamujan Agung di kaki lereng Giri Dwi Munda Mandala, berdampingan berjajar dengan Taman, dinamainya Mandala Sanghyang Parakan Jati, sebelah atasnya Sanghyang Tampian Dalem, menyilang dari Kuta Babaton, Disebutkan pula Mandala Parakan Jati, sajajaran eujeung Taman"dan "nyela humi ti Kuta Babaton). 


Nampaknya, Taman dimaksud bukan Taman Milakancana di Pakuan, tapi Tarnan di kompleks Sindang Barang. Dalam berita sejarah, Prabu Ragasuci (1297-1303 M) putra Prabu Guru Darmasiksa disebutkan pula "sang mokteng Taman " (dipusarakan di Taman). Ini berupa penanda, bahwa Prabu Kalangcarita mungkin identik dengan Prabu Ragasuci. Kalaupun tidak, mungkin mereka berdua masih pertalian saudara. Taman yang dijadikan pusaranya tidak akan jauh dari Kabuyutan yang didirikan olehnya atau saudaranya, yaitu di seputar wilayah Kadatuan Surabima (Sindang Barang).

Dugaan sementara, lokasi pusara tersebut ada di kompleks Punden Sanghyang Rucita di Pasir Eurih. Nama Kuta Babaton atau Kuta Wawaton (benteng bebatuan), ini rnenunjukan identitas karnpung Kota-Batu sekarang, yang berdekatan dengan Kampung Sindang Barang. Dengan demikian sudah terjawab, bahwa Balay Pamunjungan di kaki Gunung Salak adalah Mandala Parakan Jati, bukan Kihara Hyang.
Di bagian awal diutarakan, bahwa Balay Ki Hara Hyang didirikan jaman Prabu Siliwangi abad l5-16 M- sebagai pengganti Sanghyang Padungkukan dan Rancamaya yang sudah ditinggalkan karena angker. Prabu Kalang Carita keponakan Wisnu Brata Prabu Darma Siksa memerintah pada abad ke-13 M. Terdapat tenggang waktu kurang lebih 2 abad diantara kedua raja tersebut. Semakin jelas, sesuatu hal yang tidak mungkin bersamaan.

Melihat kenyataan di lapangan sekarang, Kampung Sindang Barang sarat dengan tinggalan-tinggalan kuno berbentuk tradisi megalitikum "Non Hindu-Budha". Hal ini sebagai indikasi, bahwa semenjak Pakuan Pajajaran mulai didirikan abad ke-7 oleh Tarus Bawa, Sindang Barang mungkin sudah berfungsi sebagai Kabuyutan Jatisunda sebagai kelanjutan dari Kabuyutan Arca Domas yang di Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede), Kabuyutan Gunung Padang di Cianjur Selatan dan Kabuyutan Kuta Gegelang di Gunung Bunder. Disamping itu, sebelum ada Kabuyutan Mandala Kihara Hyang karya Siliwangi, upacara-upacara besar agama sunda Pajajaran seperti Tata Kinariyan, Tata Duriya, Bakti Astula, Bakti Arakana, Guru Bumi, Kuwera Bakti termasuk upacara-upacara kecil lainnya, terpusat di Kabuyutan Mandala Parakan Jati (Sindang Barang), selain di Kapuunan-Kapuunan di luar lingkungan Kadaton. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa agama yang dianut warga Pajajaran sudah bukan Hindu-Budha lagi, namun agama yang disebut "Agama Sunda". Kalaupun adanya warna-warna ke-Hindu-Budhaan, hanya sebatas kepada aspek-aspek budaya kulit luarnya. Bisa diistilahkan"Nincak Parahu Dua"; agama sunda, sedangkan sistem budaya, budaya campuran sunda-hindu-budha.

Dalam hal ini mengapa Putri Padmawati (Kentring Manik Mayang Sunda) memilih tinggal di Kadaton Surabima di Sindang Barang, tidak di Pakuan. Konon demi lebih memantapkan keyakinannya kepada agarna sunda. Sebab nenek moyangnya berasal dari "Nusa Bima" bukan asli Pajajaran (Partini Sardjono, 1991). Karenanya Kedatonnya oleh ayahandanya, Prabu Panji Haliwungan (Susuk Tunggal) dinamai Sura Bima. Putranya pun, Prabu Guru Gantangan yng menurut catatan sejarah disebut Prabu Surawisesa (1521-1533 M), lahir di Sindang Barang juga.

Selagi kecilnya ia diasuh dan dididik oleh uanya Rakean Panji Wirajaya Sang Amuk Murugul di Kadaton Surabima. Barulah ketika Siliwangi wafat, ia terpilih untuk menggantikannya memegang tampuk pimpinan sebagai Raja Pajajaran ke-2 di Pakuan.


Hung, rahayu suasti astu

nirmala seda malilang. Pun

Senin, 08 April 2019

MENULUSURI SEJARAH CONGGEANG, BUAHDUA, HARIANG DAN SEKITARNYA


MENULUSURI SEJARAH CONGGEANG, BUAHDUA, HARIANG DAN SEKITARNYA



 Mungkin orang bertanya tanya tentang asal muasal daerah Conggeang, Buahdua. Hariang dan sekitarnya. Misal leumbur / kampung/ desa Narimbang. Mungkin kebanyakan masyarakat  hanya mengenal bahwa kata Narimbang itu adalah tempat karuhun menimbang nimbang. Dan tidak diungkapkan keterkaitannya dengan sejarah yang melatarbelakanginya. Atau nama Conggeang, mungkin orang Conggeang sendiri tidak pernah tahu atau mungkin yang sudah tahu pun sedikit tentang arti Conggeang. Tetapi di tulisan di internet tidak pernah ada yang mengungkapkan tentang latar belakang mengapa di sebut dengan Conggeang. Dan ternyata kisah itu didapati justru dari kisah turun temurun dari nenek moyang desa Hariang yang diungkapkan oleh Abah Olin, karena ada keterkaitan dengan leumbur atau desa Hariang.

Conggeang menurut yang dikisahkan oleh Abah Olin adalah daerah yang turun tapi landai atau disebut juga dengan cungging. Jadi Conggeang itu berasal dari kata Cungging. Dan hal ini terbukti sekali ketika melewati daerah Conggeang, yang memang jalannya turun (mudun) tapi ladai.

Demikian juga dengan nama Malanang yang merupakan cikal bakal daerah Buahdua. Dalam tulisan di internet didapati juga tentang sejarah Buahdua, yang mengaitkan dengan Raden Agus salam yang diangkat menjadi cutak oleh bupati Sumedang untuk menjamu para tentara Mataram yang mau menyerbu Batavia, karena melewati daerah ini. Malanang memang sudah diartikan dengan suatu nama yang disebut dengan pembagi yang adil. Tetapi sebenarnya mulai kapan dijuluki sebagai pembagi yang adil. Sejarah yang diungkapkan secara turun temurun dari Hariang mengungkapkan hal tersebut diatas.

Bukan hanya Hariang, Buahdua, Conggeang dan Narimbang saja yang ada keterkaitan, dan kemungkinan kampung kampung ini berdiri hampir bersamaan. Tetapi juga daerah lainnya seperti kampung Ciliang atau Citaleus, Hariang Tongoh, Pangkalan, Pangamukan,Sungai Cimamut dan  lain lain.

Belum ada tulisan baik di buku maupun di internet yang menceritakan tentang latar belakang keterkaitan kampung / leumbur  Conggeang, Buahdua dan Hariang serta daerah sekitarnya. Dan mungkin tulisan ini yang pertama mengenai hal itu. Karena itu perlu ada koreksi atau kritik dari masyarakat daerah yang menjadi obyek dari kajian ini.

Mudah mudahan tulisan ini bisa menjadi apa yang dinamakan dengan "Hariang Effect", maksudnya penulisan sejarah ini akan membangkitkan kajian kajian di daerahnya masing masing. Karena untuk membangun fondasi yang kuat sebenarnya kita harus tahu yang melatarbelakanginya. Karena sehebat apapun kalau kita tetap mengambang, bagaikan buih yang tidak mempunyai kekuatan dan fondasi yang kuat. Sehingga amat gampang diombang ambing oleh opini yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

.
MENELUSURI SEJARAH CONGGEANG, BUAHDUA, HARIANG DAN SEKITARNYA
(SUMEDANG BAGIAN UTARA)

Nara Sumber dalam Tulisan iniSeperti diungkapkan diatas bahwa leumbur atau kampung Hariang didirikan berbarengan dengan kampung Narimbang, Conggeang, Malanang (cikal bakal Buahdua) dan lainnya. Semu ayang diungkapkan diatas berada di bawah kabupaten Sumedang. Kampung atau leumbur atau daerah daerah ini lahir setelah ada  perayaan di istana Sumedang. Dan pendiri kampung kampung tersebut adalah orang orang yang disuruh oleh Pangeran Sumedang  untuk berburu (moro) banteng ke daerah Conggeang, Buahdua dan Hariang sekarang.

Setelah acara berburu yang diperintahkan oleh Pangeran Sumedang ke suatu hutan yang sekarang menjadi kecamatan conggeang dan kecamatan Buahdua. Seolah mereka yang ikut berburu tersebut terpincut pada daerah daerah  yang pernah  dilewatinya. Sehingga mereka kemudian membuat keputusan setelah kembali ke ibukota, mereka akan kembali lagi ke daerah yang akan menjadi perkampungannya.

Demikian suatu kisah yang diceritakan dari Abah Olin, yang mendapat cerita dari ayahnya: Aki Ojo dan seterusnya. Banyak orang di tatar sunda tidak bisa menceritakan tokoh tokoh yang paling berjasa diantara daerahnya, dan Abah Olin adalah salah seorang yang masih ada yang dapat menceritakan kisah secara turun temurun. Hal itu diceritakan juga oleh saudaranya, Bp. Emut Muhtar, yang konon mendapat cerita ini dari ayah yang sama.

Kebanyakan masyarakat indonesia, termasuk masyarakat sunda lebih mengedepankan bahasa lisan. Karena budaya tulisan yang kurang berkembang. Mereka lebih mengedepankan budaya lisan yang turun temurun. 

Kelemahan dari budaya lisan salah satunya ada kaitannya dengan daya ingat. Kisah sering terkurangi atau sering menambah apa yang menjadi materi dari subjek. Bahkan cerita kadang bercampur aduk padahal pada zaman yang berbeda.


Dalam sejarah berburu (moro) yang telah diceritakan sebelumnya. Bahwa peristiwa moro (berburu) disamping Wangsawijaya, sang pendiri Hariang, juga ada Karuhun Conggeang (sang pendiri kampung Conggeang, tetapi namanya sebenarnya tidak diceritakan), juga ada karuhun Narimbang (sang pendiri kampung Narimbang, tetapi namanya sebenarnya tidak diceritakan), Karuhun Malanang (Sang pendiri kampung Malanang (buahdua lama), dan tidak diceritakan namanya). Dan kemungkinan juga tokoh tokoh yang sering mengadakan pertemuan di Gunung Harendong Hariang. Kata Abah Olin banyak dari mereka yang ikut dalam pemburuan tersebut. 

Dalam buku sejarah Hariang, karena pengaruh dari Mbah Guriang dan Demang Suria Wacana,  setelah mendirikan kampung Hariang, Raden Wangsa Wijaya, biasa dikunjungi oleh para koleganya untuk kangen kangenan dan diskusi di suatu tempat yang dinamakan Gunung Harendong, yang letaknya ada di sebelah barat Hariang. Dalam buku tersebut yang sering datang adalah Buyut dipasantrenan, Dipa manggala, Singa Saraya, Buyut Aring, Buyut Kerang, Wira jenggala, Raden gadung, Buyut Malandang, Buyut Enden, Layung Kamendung dan lainnya,. Yang lainnya itu adalah Ki Sudajaya, Buyut Dipasantana, Uyut Manangeuy dan lain lain..

Pertemuan di Gunung Harendong merupakan pertemuan rutin antara karuhun (pendiri kampung) di sekitar Hariang, yang dilaksanakan di Gunung Harendong. Karena di Hariang waktu itu ada  2 tokoh sepuh yang sangat dihormati,. Disamping itu mungkin ketokohan Wangsa Wijaya yang merupakan menantu Sang Pangeran Rangga Gede atau  adik ipar pengauasa selanjutnya (Pangeran Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II), atau paman dari penguasa berikutnya, Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III.

1.. Karuhun Narimbang pendiri Desa Narimbang Kecamatan Conggeang

Desa Narimbang adalah suatu desa yang ada di kecamatan Conggeang. Seolah belum ada cerita atau naskah  yang menceritakan secara detail tentang desa Narimbang ini yang ditulis di Internet atau buku.

Dalam kisah berburu kaum bangsawan Sumedang (Wangsawijaya dan lainnya), setelah berangkat ke daerah hutan sekitar kecamatan conggeang sekarang. Daerah yang pertama kali tempat pemberhentian adalah apa yang disebut dengan Desa Narimbang sekarang. Sambil istirahat sejenak, para bangsawan ini berdiskusi dan menimbang nimbang ke arah mana mereka akan memulai acara perburuan (moro) Lembu/ banteng tersebut. Dalam suatu diskusi tersebut ada yang berkata bahwa daerah untuk menimbang nimbang ini sangat cocok untuk perkampungan. Dan dalam kisah yang diceritakan oleh Abah Olin, diungkapkan bahwa yang berbicara demikian adalah karuhun Narimbang. Karena setelah acara perburuan dan mereka kembali ke daerah tersebut.

Mencari sejarah desa Narimbang ini memang tidak didapati di internet. Jika kita membaca tulisan dari internet yang berkaitan dengan desa Narimbang ini adalah adanya 2 makam karuhun dikeramatkan di daerah ini (Narimbang dan Conggeang) yang dianggap pendiri dari Desa Narimbang dan Conggeang. Mereka menyebut salah satu makam bernama Mbah Cacagati. Makam Mbah Cacagati berada di hutan Sawah Kalapa lereng Gunung Tampomas.

Jika memang Mbah Cacagati merupakan pendiri dari desa Narimbang, berarti karuhun Narimbang yang diceritakan dalam kisah berburu  dalam sejarah Hariang tersebut. Para karuhun dulu menyebut nama Narimbang, karena pada waktu akan melakukan proses perburuan mereka berdiskusi dan menimbang nimbang ke arah mana mereka akan berburu. Dan salah seorang dari mereka berkata bahwa daerah narimbang ini sangat cocok untuk dijadikan perkampungan. Jadi kemungkinan yang berkata bahwa daerah ini cocok untuk perkampungan adalah karuhun Narimbang.  Dan jika memang Mbah Cacagati ini adalah pendiri dari kampung Narimbang. Berarti salah seorang peserta berburu itu adalah Mbah Cacagati.

Menurut cerita yang dibuat berdasar dari para peziarah yang menganggap bahwa kedua makam tersebut adalah makam Prabu Siliwangi dan Sunan Giri. Pendapat ini terlalu jauh dan salah kaprah. Karena dalam kisah berburu tidak disebutkan adanya kampung atau bekas kampung di daerah ini, dan masih hutan belantara. Apalagi makam sunan Giri berada di daerah Gresik, Jawa Timur. Jadi cerita yang sangat dibuat buat dan tidak berdasar. Apalagi ada yang mengaitkan dengan makam prabu siliwangi, tambah salah kaprah lagi.

Tentang Mbah Cacagati ini, dari logat dan kedekatan suara kemungkinan namanya sama dengan R. Sacagati. Ia merupakan menantu dari Santoan Anut Nangga bin Kiai Rangga Haji. Santoan Anut Nangga mempunyai seorang anak wanita yang menikah dengan R. Sacagati, sehingga dikenal dengan nama NM Sacagati.  Sedang Kiai Rangga Haji merupakan anak dari Pangeran Santri dengan Ratu Pucuk Umun, dan merupakan adik dari Prabu Geusan Ulun. Rangga Haji adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam penaklukan kerajaan Panjalu. Konon peperangannya sekitar daerah Narimbang sekarang. Jadi seolah ada keterkaitan antara Sacagati dengan kakeknya, Rangga Haji sebelumnya yang telah menginjakan kaki di daerah Narimbang sekarang.

Dan ada juga kemungkinan nama dari Aria Sacapati putra Dalem Arya Bandayuda. Dalem Arya Bandayuda merupakan putra dari Prabu Geusan Ulun, dan merupakan adik dari Pangeran Rangga Gede. Tapi yang mendekati sekali kemungkinan Mbah cacagati itu merupakan nama untuk R. Sacagati.

2.. Karuhun Conggeang pendiri Leumbur Conggeang

 Conggeang sekarang sudah menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Sumedang. Seperti diungkapkan diatas bahwa Narimbang, dan Conggeang berdirinya hampir bersamaan dengan dusun Malanang (Buahdua) dengan Hariang.

Dalam kisah berburu utusan sang Pangeran Sumedang. Setelah mereka berdiskusi (di daerah Narimbang sekarang) dan menimbang nimbang kemana mereka akan berburu. Akhirnya diputuskan untuk menuruni  pupudunan (daerah yang turun) yang landai atau dalam bahasa sunda disebut cungging. Maka salah seorang dari mereka berkata bahwa daerah tersebut sangat bagus untuk dijadikan daerah perkampungan. Karena cungging (turun) maka kemudian daerah itu dikenal dengan Conggeang sekarang.

Dalam cerita berburu di era sang pangeran, dibedakan antara karuhun Narimbang dan Karuhun Conggeang. Karuhun Narimbang adalah pendiri desa Narimbang, dan karuhun Conggeang adalah pendiri kampung atau desa Conggeang (sekarang kecamatan). Jadi jika mengacu pada sejarah ini, maka kedua makam yang ada di hutan daerah Conggeang tersebut kemungkinan adalah karuhun Narimbang dan Karuhun Conggeang, yang merupakan pendiri masing masing kampung tersebut.

Jika salah satu dari mereka bernama Mbah Cacagati, maka Mbah Cacagati itu pendiri desa Narimbang atau pendiri Conggeang. Jadi perlu penyelidikan yang lebih dalam. Yang jelas mereka itu bukan makam Prabu Siliwangi atau Sunan Giri, suatu pemahaman sejarah yang salah kafrah dan mengada ada.

Karena itu melalui tulisan ini mungkin masyarakat Conggeang atau Narimbang bisa menambah data jika ada yang kurang. Supaya sejarah semakin terang benderang.

3..Karuhun Malanang pendiri Kampung Malanang kecamatan Buahdua

Kampung Malanang merupakan kampung cikal bakal desa Buahdua, yang sekarang telah menjadi ibukota kecamatan buahdua. Kampung ini berada diantara desa Gendereh dan desa Buahdua sekarang.

Para penulis sering mengaitkan antara  kampung Malanang dengan persinggahan tentara Kesultanan Mataram yang akan menyerang ke Batavia, dengan tokohnya yang bernama Raden Agus Salam. Raden Agus Salam oleh bupati Sumedang disuruh menjamu tentara dari Mataram  yang akan menyerang Batavia (Jakarta sekarang), yeng melewati kampung Malanang.

Raden Agus Salam ini sering disebut dengan Buyut Malanang. Jika Raden Agus Salam ini merupakan pendiri kampung malanang, berarti salah satu pemburu yang diutus sang Pangeran dari Sumedang tersebut adalah Raden Agus Salam.

Karuhun Malanang dalam kisah berburu para pangeran atau Bangsawan Sumedang, ada kaitannya dengan proses pembagian hasil buruan. Karuhun Malanang dianggap paling adil dalam hal bagi membagi. Karena ketika proses pembagian hasil buruan, ada yang tidak kebagian, yang akhirnya dagingnya hilang semua. Atas saran dari Mbah Guriang agar pembagian daging hasil buruan tersebut oleh Karuhun Malanang, karena mereka dianggap paling adil dalam hal pembagian.

Dalam kisah yang beredar di masyarakat, bahwa Raden Agus Salam, tokoh dari kampung Malanang diangkat menjadi cutak Malanang oleh penguasa Sumedang. Dan dia waktu itu disuruh menyanmbut kedatangan tentara Mataram yang melewati Sumedang yang akan menyerang Belanda di  Batavia (jakarta sekarang). Jadi jelas disini apakah Raden Agus Salam ini adalah Karuhun Malanang .

Kampung Malanang ini pada awalnya seperti kampung naga di Tasikmalaya, yang  menjaga tradisi dengan mensyaratkan jumlah 40 kepala keluarga yang dijaga selama ratusan tahun. Dikampung ini juga banyak pantangan atau pamali. Tetapi konon tradisi ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya.

4.. Singa Saraya dan Dipamanggala

Singasaraya merupakan kakak dari Dipamanggala. Mereka kakak beradik yang dikenal sebagai tukang moro istana (paningaran). Mereka berdua sering disebut Mbah dalem Pangamukan. Pangamukan merupakan suatu daerah Karamat Bantarwaru sekarang, perbatasan Sumedang dan Indramayu. Dan karamat Singaraya serta Dipamanggala di Bantarwaru.

Dalam suatu kisah yang diungkapkan oleh Abah Olin, mereka terkenal sebagai penembak jitu. Mereka sering diutus oleh Sang Pangeran untuk berburu. Tetapi ketika  di leuweung (hutan) Pangamukan (Pangaamukan berarti tempat ngamuknya banteng).  Banteng buruan yang ia tembak (bedil) tidak kena terus. Karena itu kemudian Banteng itu dikejar (dibeurik) terus di korowot (digegel/ digigit) oleh mereka berdua.

5.. Uyut Kerang dianggap sebagai pendiri Citaleus

Buyut Kerang adalah salah seorang karuhun  yang sering berkumpul di Gunung Harendong di Hariang. Dia dianggap sebagai pendiri perkampoungan di Citaleus. Makamnya sekarang ada di Citunggul desa Citaleus  kecamatan buahdua.

Menurut Abah Olin, Uyut Kerang ini adalah pada awalnya dia yang menjaga Hariang di perbatasan Tatanyakan Kadan sekarang (perbatasan Desa Hariang dan Kampung Ciliang). Karena beranak pinak di daerah Ciliang, Citunggul dan Citaleus, maka kemudian dianggap meenjadi karuhun daerah ini. Dan sekarang nama Buyut Kerang telah dijadikan suatu nama lapangan bola yang ada di Citunggul.

6.. Buyut Aring

Buyut Aring terkenal sebagai perokok berat. Ia kalau merokok seharinya habis bakau sajamang. Sasasag jika digulung maka  istilahnya menjadi sajamang (gulungan sebesar paha orang dewasa).

Buyut Aring jalannya suka engkeh engkehan. Karena itu ada istilah yang menurut Abah Olin yang diceritakan dari kakeknya Aki Lebe Kamsu, jika ada yang ngigeul (ngibing) engkeh engkehan, yang demikian disebut dengan ngigeulnya Buyut Aring.

7.. Ki Sudajaya

Kisudajaya merupakan penjaga Hariang di daerah di perbatasan sungai Cigarukgak. Makamnya tidak diketahui, hanya ada ciri cirinya.

Berkaitan dengan Ki Sudajaya ini, konon jika ada jagoan / jawara hebat melewati sungai Cigarukgak (perbatasan Hariang) maka akan hilang kegagahannya atau tidak nafsu.

8.. Buyut Dipasantana

Tempat tinggalnya di Ruruku (sebelah barat persawahan Cihantu sekarang). Dipasantana pernah bertarung dengan Karuhun Cihayam. Pada awalnya ia digigit telingannya sehingga cacat atau dalam bahasa sunda dikatakan Rawing. Karena itu sangat marah besar sehingga kelereng kemaluan karuhun Cihayam ini dilempar dibuang ke gunung Larangan.

Karena itu menurut Abah Olin dulu ada mitos,  jika melewati daerah ruruku, berkata  Rawing, maka akan terjadi hujan angin.

9.. Buyut Enden

Buyut Enden ini merupakan karuhun atau pendiri leumbur Hariang Tongoh.  Makam Buyut Enden ada di Hariang Tongoh.

10. Raden Gadung

Raden gadung palinggihannya (tempat tinggalnya) di  Gunung Geulis, dekat makam Nyi Rajamantri.

11. Uyut Manangeuy

Uyut Mananggeuy merupakan karuhun pendiri kampung Tonjong desa Hariang. Makam uyut Manangeuy ada di kampung Tonjong desa Hariang

12.. Tokoh Lainnya

Selain tokoh tokoh diatas, ada beberapa tokoh yang hingga kini masih dalam pencarian identitasnya, karena Abah Olin pun tidak begitu mengetahuinya.Tokoh tokoh yang belum diketahui keterangannya dinataranya: Buyut Dipasantrenan, Layung Kamendung, Wira Jenggala dan lain lain.

Tentang Buyut Dipasantrenan, apakah ia sama dengan Buyut Arab yang juga datang di era Hariang awal. Hal ini masih belum diketahui hubungannya. Dan makam dari Buyut Arab ada di Pangbuangan (sebelah timur percetakan genteng (lio).

Demikian kisah yang diungkapkan oleh Abah Olin. Karena cerita ini merupakan kisah turun temurun yang diungkapkan secara  lisan dari generasi ke generasi, mungkin banyak data yang hilang karena lupa. Karena itu melalui tulisan ini, jika ada yang mau menambahkan atau mempunyai sumber data yang berlebih adalah suatu harapan.

By Adeng Lukmantara bin Abah Olin

Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam

Asal Hariang Kab. Sumedang

Sumber

Wawancara dengan Abah Olin & Bpk. Emut Muchtar

Kerajaan Medang Kahiangan Suku Gunung Tampomas


Bagi Urang Sunda yang tinggal di Priangan Timur barangkali pernah mendengar Mandalaherang. Nama tersebut adalah satu satu kabuyutan di Tatar Pasundan. Namun berdasarkan informasi dari Naskah Sunda Kuno, kabuyutan ini termasuk Mandala, seperti terlihat dari namanya Mandala Mandalaherang.

Mandala ini termasuk dalam daftar Kabuyutan atau Kemandalaan di Tatar Pasundan.



Mandala Mandalaherang atau Kabuyutan Mandalaherang berada di tutugan (kaki gunung) Tampomas Sumedang. Mandala atau Kabuyutan ini, mungkin cikal bakal Kerajaan Medang Kahiyangan seperti tercantum dalam Perjalanan Bujangga Manik.

Setiap Mandala terdapat batu satangtung atau Lingga. Lingga sebagai batu kabuyutan berasal dari kata “La-Hyang-Galuh” (Hukum Leluhur Galuh). Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat / puseur (inti) pemerintahan disetiap wilayah Ibu Pertiwi, tentu saja setiap bangsa memiliki Ibu Pertiwi-nya masing-masing (Yoni).



Dari tempat Lingga (wilayah Rama) inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara (Ratu). Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Galuh dalam ajaran Sunda, dimana Matahari menjadi pusat (saka) peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara (kerajaan) di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama (Manusia Agung), Ratu (‘Maharaja’) dan Rasi atau Resi (raja-raja kecil/ karesian) dan konsep ini kelak disebut sebagai Tri-Tangtu atau Tri-Su-La-Naga-Ra.

Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan Dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya (lingga) disebut Obelisk ataupun Menhir.

Mandala (tempat suci) secara prinsip terdiri dari 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan (secara simbolik) yaitu;

Mandala Kasungka
Mandala Seba
Mandala Raja
Mandala Wangi
Mandala Hyang (inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)

Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit “suwung” (ketiadaan). Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari “mikro kosmos menuju makro kosmos” (keberadaan yang pernah ada dan selalu ada).

Asal Usul Mandalaherang
Pada awal abad ke-3, ketujuh wilayah Sumedang tersebut, dahulu masih hutan belantara. Para putra Raja Salakanagara ini mendirikan sebuah negeri yang bernama Medal Kamulyan, dimana Gunung Gede (Tampomas) dijadikan sebagai kiblat/tanda/simbol/pusat spiritual. Di kawasan gunung ini Sumaradira berdiam dan menjadi seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Daniswara dan kemudian menjadi Resi.

Selanjutnya, saudara-saudaranya juga menyebar dari Gunung Tampomas. Jaya Sampurna dan Indrasari mengambil tempat tinggal ke arah selatan, berkuasa di daerah Gunung Susuru. Sukmana berdiam di Gunung Cupu. Sari Hatimah ke arah timur, berkuasa di daerah Cieunteung dan Larasakti di Cisusuru (Gunung Cisusuru Dayeuh Luhur Ganeas). Dan yang ke arah utara adalah Jayabuana Ningrat yang berkuasa di daerah Banas Banten. Tujuh putra Raja Salakanagara tersebut kesemuanya tidak memiliki istri dan suami (berdiri sendiri), tetapi saling berkaitan sebagai simbol ilmu pengetahuan, diantaranya adalah simbol 7 hari dalam seminggu dan lahirnya sebuah ajaran yang disebut dengan istilah Insun Medal.

Negeri ini lebih dahulu lahir sebelum berdirinya Kerajaan Tarumanagara oleh Singawarwan di tahun 355 M. Simbol pengakuan berdirinya Kerajaan Tarumanagara adalah Gunung Datar (Datar = Dangiang Tarumanagara), berada di wilayah Kecamatan Sumedang Utara. Di kawasan ini terdapat situs yang menghadap ke Gunung Tampomas, dan sebagai bentuk peringatan yang dilanjutkan oleh keturunan Tarumanagara dari Kerajaan Kendan (keturunan Wretikandayun Raja Medangjati di abad ke-6 dengan lahirnya negeri Medang Kamulyan oleh Ratu Komara).

Kerajaan Medang Kahiangan/Medang Kahyangan

Kerajaan Medang Kahiangan/Medang Kahyangan adalah salah satu kerajaan kuno yang ada di Tatar Sunda. Didirikan sekitar tahun 174 saka atau sekitar tahun 252 M di kaki Gunung Tampoomas (Tampomas) yakni terletak diantara Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Kerajaan tersebut didirikan oleh seorang resi keturunan raja Tarumanagara ke 5.

Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan bernama Medang Kahiyangan (252 - 290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari Raja Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa pemegang kekuasaan Kerajaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan. 

Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan dan tidak ada hubungan sama sekali, berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa keturunan dari Medang Kahyangan merupakan keturunan Raja Tarumanagara ke 5 dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman menantu Dewawarman IV, sedangkan menurunkan keturunan Sumedang Larang berasal Manikmaya Kerajaan Kendan menantu Suryawarman raja Tarumanagara ke 7 yang kemudian juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda.

Namun sayangnya sumber sejarah Kerajaan Medang kahyangan/Medang kahiangan tidak banyak diceritakan dalam carita Parhyangan maupun dari sumber-sumber kuno lainnya yang ada di tatar Sunda.

Tahun Berdiri    : 252-290 M
Pusat Kerajaan  : Gunung Tampomas, Sumedang
Raja Pertama     : Keturunan Raja Salakanagara ke 3
Raja Terkenal    : ?
Jumlah Raja       : ?
Agama Kerajaan : Hindu

Peninggalan kerajaan ini tersebar disekitar Gunung Tampomas, yakni berupa makam-makam kuno, punden, lingga, dan arca. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Yayasan Padaringan berhasil menemukan sejumlah benda purbakala, mualai dari area puncak hingga kaki belahan timur Gunung Tampomas. Lokasi bersejarah tersebut yaitu, Blok Ciputrawangi, Lewueng Candi, Puncak Narimbang, Batulawang, Kabuyutan, Sawah Kalapa, Puncak Manik, dan Cibanteng. Kerajaan Kuno ini harus kembali diteliti lebih mendalam, mengingat banyaknya peninggalan kepurbakalaan yang berkaitan erat dengan kerajaan ini.

Penemuan Fragmen arca orang Mudra Sidhakep 
yang ditemukan di Blok Leuweung Candi, lereng timur Gunung Tampomas. 
Diperkirakan arca tersebut berasal dari abad 3 Masehi.

Silsilah Keturunan Raden Demang Sumawijaya (Panjalu-Ciamis)

I. Batara TesnajatiSuntin


Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.

II. Batara LayahSunting

Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.

III. Batara Karimun PutihSunting

Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan, Gunung Sawal.

IV. Prabu Sanghyang Rangga GumilangSunting

Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung Sawal Panjalu.

Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.

V. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur ISunting

Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.

VI. Prabu Sanghyang CakradewaSunting

Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:

(1) Sanghyang Lembu Sampulur II,

(2) Sanghyang Borosngora,

(3) Sanghyang Panji Barani,

(4) Sanghyang Anggarunting,

(5) Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan

(6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).

Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa taerdapat di Cipanjalu.

VII.(1). Prabu Sanghyang Lembu Sampulur IISunting

Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang).

VII.(2). Prabu Sanghyang BorosngoraSunting

Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku.

Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:

(1) Rahyang Kuning atau Hariang Kuning, dan

(2) Rahyang Kancana atau Hariang Kancana.

Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding.

Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).

VIII.(1). Prabu Rahyang KuningSunting

Rahyang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.

VIII.(2). Prabu Rahyang KancanaSunting

Rahyang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.

Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:

(1) Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko, dan

(2) Rahyang Ageung atau Hariang Ageung.

Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.

IX.(1). Prabu Rahyang Kuluk KukunangtekoSunting

Rahyang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana.

Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.

X. Prabu Rahyang Kanjut Kadali KancanaSunting

Rahyang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.

XI. Prabu Rahyang Kadacayut MartabayaSunting

Rahyang Kadacayut Martabaya naik tahta menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya.

Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.

XII. Prabu Rahyang Kunang NatabayaSunting

Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-1643) putera Pangeran Bangsit (1575-1592). Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati Panaekan.

Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :

1) Raden Arya Sumalah,

2) Raden Arya Sacanata, dan

3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).

Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (1586-1601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu dan Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618.

Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.

XIII.(1). Raden Arya SumalahSunting

Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:

(1) Ratu Latibrangsari dan

(2) Raden Arya Wirabaya.

Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.

XIII.(2). Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya SalingsinganSunting

Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata.

Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.

Dua belas diantara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:

(1) Raden Jiwakrama (Cianjur),

(2) Raden Ngabehi Suramanggala,

(3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),

(4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),

(5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),

(6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),

(7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),

(8) Nyi Raden Lenggang,

(9) Nyi Raden Tilar Kancana,

(10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),

(11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan

(12) Raden Ngabehi Dipanata.

XIV.(7). Raden Arya WiradipaSunting

Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para kawula-balad (abdi dan rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu:

(1) Raden Ardinata,

(2) Raden Cakradijaya,

(3) Raden Prajasasana, dan

(4) Nyi Raden Ratna Gapura.

XV. (3). Raden Tumenggung Cakranagara ISunting

Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC untuk wilayah Priangan (Jawa Barat) dan bertugas mengepalai dan mengatur para bupati Priangan. Raden Suragostika yang dianggap berkinerja baik dan layak menduduki jabatan bupati kemudian diangkat oleh Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja.

Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrangsari (kakak Arya Wirabaya) sebagai garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:

(1) Raden Cakranagara II,

(2) Raden Suradipraja, dan

(3) Raden Martadijaya.

Sementara dari garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:

(4) Nyi Raden Panatamantri,

(5) Nyi Raden Widaresmi,

(6) Nyi Raden Karibaningsih, dan

(7) Nyi Raden Ratnaningsih.

Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

XVI.(1). Raden Tumenggung Cakranagara IISunting

Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja.

Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:

(1) Nyi Raden Wijayapura,

(2) Nyi Raden Natakapraja,

(3) Nyi Raden Sacadinata,

(4) Raden Cakradipraja,

(5) Raden Ngabehi Angreh,

(6) Raden Dalem Cakranagara III,

(7) Nyi Raden Puraresmi,

(8) Nyi Raden Adiratna,

(9) Nyi Raden Rengganingrum,

(10) Nyi Raden Janingrum,

(11) Nyi Raden Widayaresmi,

(12) Nyi Raden Murdaningsih,

(13) Raden Demang Kertanata,

(14) Raden Demang Argawijaya,

(15) Nyi Raden Adipura, dan

(16) Nyi Raden Siti Sarana.

Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

XVII.(6). Raden Tumenggung Cakranagara IIISunting

Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari garwa padmi (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.

Pada tahun 1819 ketika Pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1836) dikeluarkanlah kebijakan untuk menggabungkan Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh.

Pada tahun itu Bupati Galuh Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya, sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah.

Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:

(1) Raden Sumawijaya (Demang Panjalu),

(2) Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),

(3) Raden Aldakanata,

(4) Raden Wiradipa,

(5) Nyi Raden Wijayaningrum,

(6) Raden Jibjakusumah,

(7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),

(8) Raden Cakradipraja,

(9) Raden Baka,

(10) Nyi Raden Kuraesin,

(11) Raden Tumenggung Prajadinata (Kuwu Maparah)

(12)Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan

Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.

XVIII.(1). Raden Demang SumawijayaSunting

Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu:

(1) Raden Aldakusumah,

(2) Nyi Raden Asitaningsih, dan

(3) Nyi Raden Sumaningsih.

Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

XIX.(1). Raden Demang AldakusumahSunting

Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia menikahi Nyi Raden Wiyata (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan mempunyai empat orang anak, yaitu:

(1) Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),

(2) Nyi Raden Wijayaningsih,

(3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan

(4) Nyi Raden Sukarsa Karamasasmita (Reumalega, Desa Krtamandala, Panjalu).

Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

XX.(1). Raden KertadiprajaSunting

Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama Raden Kertadipraja tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu karena Panjalu kemudian dijadikan salah satu desa/kecamatan yang masuk kedalam wilayah kawedanaan Panumbangan Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.

Raden Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) menikahi Nyi Mas Shinta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) dan menurunkan empat orang anak yaitu:

1) Raden Hanafi Argadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),

2) Nyi Raden Aminah - Adkar (Cirebon),

3)Nyi Raden Hasibah - Junaedi (Reumalega, Desa Kertamandala Panjalu),

4) Nyi Raden Halimah - Suminta (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu),

5) Raden Ahmad Kertadipraja (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu), dan

6) Nyi Raden Aisah - Padma (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu).

XXI.(1). Raden Hanafi ArgadiprajaSunting

Raden Hanafi Argadipraja menikahi Nyi Raden Dewi Hunah Murtiningsih (Reumalega, Desa Kertamandala, Panjalu) puteri dari Kuwu Cimuncang (sekarang Desa Jayagiri, Panumbangan, Ciamis) bernama Raden Nitidipraja dan menurunkan putera-puteri:

(1) Nyi Raden Sukaesih Abdullah,

(2) Raden H. Muhammad Tisna Argadipraja,

(3) Raden Galil Aldar Argadipraja,

(4) Nyi Raden Hj. Siti Maryam Mansyur, dan

(5) Nyi Raden Siti Rukomih Sukarsana.

XXI.(4). Raden Ahmad KertadiprajaSunting

Raden Ahmad Kertadipraja menurunkan putera-puteri:

(1) Raden H. Afdanil Ahmad,

(2) Raden Nasuha Ahmad,

(3) Nyi Raden Kania Ahmad, dan

(4) Raden Subagia Ahmad,

SumberSunting

Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.