BERBAGI INFORMASI TENTANG BUDAYA, ARKEOLOGI, ASTRONOMI, DAN WACANA YANG BERMANFAAT
MenuRumahBeritaBudaya- Budaya- Naskah kuno- Aksara Sunda kunoSejarah- Sejarah Dunia- Sejarah Sunda- Sejarah NusantaraFilsafatOpiniFigurArkeologiMitologi- Legenda & Mitos- Tafsir MimpiFitur- SiteMap
Ini adalah Alkitab
oleh Admin Historiana pada 07 September 2018pada 2018 , agama , agama Sunda , Budaya ,Sunda Buhun
Foto: mytrip.co.id[Historiana] - Sebelumnya kita sudah membahas agama (agama) Sunda Buhun atau Sunda Jati . Deskripsi dan definisi dari Sunda Jat sudah kita bahas, Silakan klik tautan di atas.
Kali ini kami sedang mencari apa kitab suci Sunda Buhun atau Sunda Jati Sunda?
Menururt Anis Djatisunda, "Sampai hari ini saya belum menemukan pendapat para ahli yang berani memastikan, apa agama orang Sunda di Sunda Lama." Terlepas dari kenyataan bahwa sejarah sejarawan memberikan Hindu dominan dan Buddhisme signifikansi dominan. Sangat Djatisunda berpendapat bahwa agama Sunda kuno disebut Zaman Pajajaran, adalah "Agama Sunda". Dipercayai bahwa beberapa berita yang ditemukan mayoritas telah memberikan kejelasan. Misalnya, kansak kansak-406,Kisah Parahyangan (CP) yang menunjukkan keberadaan para biarawan "yang menggoda cinta Sunda." Itulah para pendeta yang mengaku dan mempraktikkan Agama Sunda. Saat mereka mempertahankan "parahyangan kabah".
Indikasi sisa lembaga keagamaan semacam itu, sekarang masih tinggal di komunitas "orang Rawayan (Baduy)" , yang disebut agama "Sunda Wiwitan" dari sisa Sunda Jati Sunda atau Parahiyang, adalah Mandala Kanekes ; pekerjaan mereka. Demi pentahbisan Sunda Jati dengan kesetiaan mereka hingga saat ini, yang sekarang mereka sebut "Sasaka Domas", Sasaka Pusaka Buana atau juga disebut "Sasaka At Agung"
Kesaksian lainnya adalah merujuk pada berita serial Pantun Bogor versi Aki uyut Baju Rambeng. Dalam episode Pantun Bogor "(suci) " Curug Si At Weruh " , diceritakan bahwa:
"Sebelum kita tidak bisa tidur di Kadu Hejo, kita punya banyak agama, itulah sebabnya kita mencintai agama ..."
(Sebelum orang Hindu memerintah di Kadu Hejo, nenek moyang kita memiliki agama,
yaitu istilah agama Sunda).
Hypothesely, yang dimaksudkan sebagai "Urang Hindi" di sini, adalah sosok Dewawarman. Seperti dilansir Perpustakaan Wangsakerta, ia dikumpulkan oleh Aki Tirem alias luhur Mulya, dikawinkan dengan putrinya, Pohaci Larasati , yang kemudian diangkat sebagai Raja di Salakanagara, ibukota Rajatapura (130 - 168 M), menggantikan dirinya sendiri. Nama tempat itu Kadu Hejo, sejalan dengan berita Pantun yang berlokasi di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, masih dinamai demikian.
Pada tahun 1972 Pastor Sacin (alm), ahli sastra bambu dan mantan Panengen(penasihat Puun ) Baduy Tangtu Cikeusik menjelaskan, bahwa zaman "bajak laut"Pakuan Pajajaran, agama mereka"Agama Sunda Pajajaran" . Sampai sekarang mereka masih agamant, membintangi sumpah yang mereka sebut "Sadat Sunda" (Sunda Sahadat):
"Sadat sadat sedih, sir katata sir katepi, selam larang teu sorang, sir (h) aji pakuan". Sahadat Sunda ini, pernah disebutkan dalam upacara pemujaan di Babalayan Pamujan "Sasaka At Ageung" ( Undangan Baduy).
Beralihlah ke makna kata "Sunda" sebagai nama agama. Dalam mitos Bangsa Pendiri Sunda , berita Pantun Bogor episode Pakulajar Beukah Kembang , Sunda berarti bagian suci atau penyempurnaan ( " artinya teh suci , campuran sempurna" ). Sunda padaawalnya disebut Sunda Buana . Nama itu diberikan oleh Sanghyang Wenang . Karena, ketika tanah itu masih hamparan kosong, banyak yang dikunjungi orang untuk "mendorong diri sendiri" (menyucikan diri).
"..... di dinya ta hade Jasa pieun panyundaan nyundakeun diri . Pieun nyampurnakeun raga eujeung sukma, abeh bisa ngarasa paeh sajero hirup, ngarasa hirup Sabari paeh".
(... senang memurnikan, menyempurnakan tubuh dan jiwa Anda, bisa merasa mati selama hidup, untuk merasa hidup saat dalam keadaan mati).
Hari-hari Buana Sunda semakin ramai oleh perekrut . Oleh karena itu, mereka memiliki "uang cinta" jangka panjang (orang suci) - nama kurikulum, "etnis sundaan".
Aksara Sunda: Sambawa. Sambada dan Winasa
Maklum, agama Sunda sudah ada sejak saat itu Dewawarman memerintah di Salakanagara (130 - 168 M). Terhitung sampai saat ini, keberadaannya sudah lebih dari 20 abad bahkan mungkin lebih. Kitab suci disebut Sambawa, Sambada dan Winasa , tiga buku yang ditulis oleh "Raja Resi Wisnu Brata".
"... pikukuhan Agama Sunda Pajajaran dituliskeun dina Layang Sambawa, Sambada, Winasa anu dituliskeun ku Parbhu Reusi Wisnu Brata. Nya inyana anu tukang tapa ti ngongora. Inyana anu saenyana ngagalurkeun jadi kabehan pada ngarti Agama anu kiwari disebut Agama Sunda Pajajaran tea. Agama anu hanteu ngabeda-bedakeun boroboro ngagogoreng ngahaharuwan agama sejen. Lantaran euweuh agama anu hanteu hade. Anu hanteu hade mah lain agama, tapi metakeun agama jeung laku lampah arinyana anu arembung bae ngarti hartina Ahad teh nunggal nu ngan Sahiji-sahijina, ngan sahiji bae.....".
(Ajaran agama Pajajaran ditulis dalam Sambawa, Sambada, Naskah Winasa yangditulis oleh Prabu Resi Wisnu Brata , yang merupakan pemuja dari kaum muda, dan dialah yang mengundang semua orang untuk memahami agama yang sekarang disebut Sunda Pajajaran . tidak membeda-bedakan atau bahkan tidak menyukai agama-agama lain karena tidak ada agama yang jelek. jelek itu bukan agama, melainkan praktik agama, dan perilaku orang-orang yang tidak mau mengerti arti "ahad" hanya satu, hanya "satu-satu").
Dihipotesiskan oleh tokoh Raja Resi Wisnu Brata menurut cerita Pantun, adalah, Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu '(1175 - 1297 M) berdasarkan catatan sejarah Perpustakaan Wangsakerta. Karena salah satu raja Sunda yang bijaksana dengan bijak seperti Resi dan tak henti-hentinya menyiarkan agama itu, hanya raja ini.
Mungkin sebelum 3 buku yang ditulisnya, entitas agama sunda selama sekitar 1 milenium (1000 tahun), masih merupakan agama tidak resmi. Tepat sejak Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Agama Sundadisahkan oleh negara. (Diperlukan penelitian lebih lanjut).
Tampaknya pada saat itu, agama Hindu atau Budha mulai memudar. Setidaknya telah jatuh cinta dengan agama. Jadi berbagai kitab suci Buddha-Buddha kurang spesifik di alam.
Dalam episode Pantun (keramat) Bogor "Tunggul Kawung Bijil Sirung" diceritakan, penyebar Sunda pertama adalah seorang tokoh yang dijuluki "Mundi di Laya Hadi Kusumah" setelah ia mendapatkan Layang Salaka Domas dari "Jagat Jabaning Langit"
Secara harfiah Layang Salaka Domas berarti " Kitab Suci dari Delapan Ayat Hurdred.", dewasa hingga tua (sambada) dan kematian dan kehidupan di alam hyang (winasa). Bagaimana bunyi setiap ayat dalam ketiga kitab suci ini, "Rawayan Urang" (Baduy) merahasiakannya, atau mungkin mereka tidak mengetahuinya lagi.
Pada masanya Siliwangi masih memerintah di Pakuan Pajajaran, isi dari ketiga kitab suci itu selalu dibaca dalam malam yang sunyi dan sunyi, penuh kedamaian yang berada di puncak upacara Kuwera Bakti di kunjungan Balay Kihara Hyang, langit bebas cahaya yang disinari "resin resin" bercampur cahaya bulan Bulan purnama meluas, dipimpin oleh Brahmesta the Great State Rev.Hari berikutnya ketiganya diarak di dalam "Niskala Wastu Jambana" di sekitar Balay Courtyard dan kemudian ke kompleks Pakuan.
Kembali ke sosok Mundi di Laya Hadi Kusumah. Siapa itu sebenarnya Tidak ada kisah puisi atau cerita naratif yang menjelaskannya. Sosok seperti "Mundinglaya Dikusumah" putra Prabu Siliwangi terasa mustahil, karena usianya terlalu muda. Dalam nama Laya Hadi Kusumah , nama yang secara filosofis bermakna: "[seseorang] yang telah mampu membawa tingkat kematian yang tinggi, keindahan bunga-bunga", konotasi "seseorang yang telah mampu mengendalikan keinginannya sambil meninggalkan dunia benda," identik dengan " Khalik ".
The Journey of the Sky , sebuah alam semesta di luar alam semesta, di tempat kudus Sang Hyang Tunggal , tentunya sosok ini bukan manusia. The Journey of Heavenadalah "Mandala Ageung". Dalam istilah Baduy kita disebut "Buana Nyungcung" . Tempat tinggal Sang Rumuhung, yang terhebat, Sang Hyang Tunggal.
Dari pengistilahan nama-nama dzat Sang Maha Pencipta seperti di atas, memberikan indikasi bahwa Orang Sunda sejak masa nirleka pun sudah menganut paham Monotheisme (Satu Tuhan) yakni Tuhan sebagaimana digambarkan dalam Pantun Bogor:
"Namanya ada di hadapan, tidak ada penampilan tanpa waruga, tidak ada koneksi, tetapi akses kuat ke semua keinginannya."
Dalam mantra yang disebut "Pajajaran" , disebutkan atributnya, berbunyi:
"Tuhan adalah satu-satunya yang ada di dunia, menyaksikan di alam semesta semua, di dunia, di dunia."
(Sang Hyang Agung yang Maha Esa, Dialah yang sebenarnya sang "Penyembahan", tiada beranak tiada bersaudara, mempunyai teman pun tidak di Jagat dan di Alam ini. Yang paling unggul di segala-gala. Hung, nah itulah Sang Benar Sejati, Ahung!) Hanya kepadanya orang sunda rnenyembah dan minta perlindungan, sebab hanya Inyana-lah yang memiliki kebenaran sejati dan hakiki.
Dalam keadaan "Tunggal-nya", "Sang Hyang Rumuhung Nu Ngeresakeun" dibantu oleh para "Sang Hyang", seperti '. Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wening, sang Hyang Guru Hyang Tunggal (Guriang Tunggal). Sang Hyang Kala. Sang Hyang Guru Bumi Sang Hyang Ambu Sri Rumbiyang Jati, Sunan Ambudan para Sang Hyang lainnya, sesuai tugas dan wewenangnya rnasing-masing di Jagat dan Alam seisinya.
Sang Hyang yang menempa kepasrahan dalam perjalanan kehidupan manusia adalah Sang Hyang Kala, lazim disebut Dewa Papasten (dewa kepastian) yang menguasai kewenangan "Sang Waktu". Orang Sunda-Nyunda demikian yakin perjalanan hidupnya dikendalikan oleh ketentuan waktu yang diistilahkan "papasten" tadi. Seperti ucapan Sang Hyang Lengser kepada Prabu Siliwangi, yang gagal menyeberang ke Nusa Larang karena diterpa badai dan topan:
"Dengekeun Gusti! Saha anu bisa ngabendung gunturna waktu, saha anu bisa nyahatkeun talaga lara. saha anu bisa mungpang ka papasten"
(Dengarkan Gusti ! Siapa yang mampu membendung membanjirnya waktu,
siapa yang bisa mengeringkan telaga kesusahan, siapa yang bisa melawan kepastian).
Disini tersirat bahwa segala langkah dan upaya, tak akan bisa tercapai apabila belum waktu-nya yang dalam bahasa sunda lama disebut "Uga".
Dalam kolteks sebagai masyarakat berladang, Sanghyang yang diagungkan oleh orang Sunda ialah Sanghyang Amhu Sri Rumbiyang Jati (sebagai Dewi Kesuburan Padi dan tanam-tanaman) dan Sanghyang Ayah Kuwera Guru Bumi atau disebut pula Batara Patanjala (Dewa kesuburan dan kesejahteraan ). Kedua Sanghyang suami isteri ini, sebagai pangbayu hirup hurip manusia sunda. Karenanya dijadikan inti puja dalam kegiatan-kegiatan upacara besar semacam "Lebaran", baik Upacara tahunan Seren Tahun Guru Bumi maupun winduan Upacara Tutug Galur Kuwera Bakti di Pakuan. Waktu kegiatannya berupa pesta akbar setiap selesainya panen padi di ladang.
Kita maklumi, sekarang pun hal demikian masih berlaku di lingkungan masyarakat adat Baduy, Pancer Pangawinan, Naga, Dukuh, Sumedang Larang, Cigugur, bahkan warga masyarakat Kampung Budaya Sindang Barang.
Agama Sunda mernberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Menghadapi proses ini, manusia Sunda dihadapkan kepada dua jagat yang disebut jagat jadi carita dan jagat kari carita (dunia fana dan alam baka). Di jagat kari carita. terdapat mandala dan buana karma atau jagat pancaka. Mandala tersebut terdiri dari 9 tingkat secara vertikal, diantaranya dari bawah keatas: Mandala Kasungka - Mandala Parmana - Mandala Karna - Mandala Rasa - Mandala Seba - Mandala Suda - Jati Mandala - Mandala Samar - Mandala Agung. Setiap roh orang mati, harus masuk dulu ke Mandala Kasungka (mandala paling bawah).
Jika semasa hidupnya tidak-baik, harus pindah dulu ke Kawah Panggodogan di Buana Karma, untuk mendapatkan ujian-ujian. Bagi yang masa hidupnya baik-baik, bisa secara langsung naik sampai ke mandala yang lebih tinggi.
Mandala keenam, Mandala Suda; berupa tempat berkumpulnya para "Karuhun" yang telah bebas untuk pulang pergi ke dunia fana. Ia boleh berwujud lagi, tapi kalau berbicara hanya melalui perasaan. Atau sebaliknya, boleh bersuara biasa tapi mesti tanpa wujud.
Dari Mandala Suda naik lagi ke "Alam Kasucian" yaitu ke Jati Mandala. Di mandala ini terdapat dua paseban; Paseban Pangauban tempat para Karuhun yang sudah bebas untuk kembali lagi ke dunia fana menjenguk yang masih hidup, seraya boleh berwujud dan berbicara seperti biasa. Sebelah atasnya terdapat Papanggung Bale Agung. Di sana berkumpul para Karuhun yang sedang menunggu giliran untuk nitis.
Sebelah atas Jati Mandala ada Mandala Samar. Di Mandala ini yang tinggal para Karuhun yang sudah memiliki jadwal nitis. Mereka sudah tidak perlu lagi naik tahapan mandala, sebab mereka sudah pada habis giliran, untuk kemudian lebur menyatu dengan dzat semesata alam.
Ada tiga tempat sejajar diatas Mandala Samar. Yang ada di tengah, tempat bersemayamnya Sanghyang Gurilyang Tunggal. Sebelah kirinya persemayaman Sang Hyang Wenang, yang kanan Sang Hyang Wening. Ditengah atas ketiganya tempat bersernayamnya Sang Hyang Kala.
Sedangkan yang paling atas sendiri Mandala Agung, jarak dari Mandala Samar kira-kira dua puluh sembilan setengah zaman (dua puluh salapan satengah jaman), atau istilah Urang Kanekes (Baduy) hanya berjarak sagorolong jeruk nipis (segelinding jeruk nipis). Mandala inilah yang juga disebut Jagat Jabaning Langit tempat bersemayamnya "Sang Hyang T'unggal", "anu nunggal bae di sakabeh alam sakabeh jagat" (Tuhan Yang Maha Kuasa, yang "Maha Esa" di seluruh alam dan seluruh Jagat). Suatu Jagat tanpa ruang tanpa waktu, tanpa terang tanpa gelap, tanpa jarak tanpa batas.
Sarana Peribadatan
Sarana sebagai tempat peribadatan Agama Sunda zaman Pajajaran ada tiga macam yang termasuk inti;
l) Balay Pamunjungan, berupa bukit Punden Berundak 12 undakan, yang dibagian puncaknya dan di 2 tingkat di bawahnya terdapat Arca-arca sebanyak 800 buah, yang lazim disebut "Arca Domas". Konon, Balay Pamunjungan yang paling mewah dan megah di Pakuan Pajajaran, pada zarnannya Prabu Siliwangi. Yakni yang disebut Balay Pamuniungan Kihara Hyang berlokasi di"Leuweung Songgom" (hutan songgom) kira-kira wilayah Kampung Bantar Kemang sekarang. Selain lapangan di bawahnya sangat luas juga di puncak bukit yang disebut balay, dipadati oleh arca-arca Emas seutuhnya sebanyak 400 buah. Arca lain yang 400 lagi dari batu, terdapat di tingkat kedua ketiga yang disebut Babalayan.
Punden semacam ini terdapat hanya di Pakuan (pusat kerajaan), sebagai sarana upacara peribadatan "munjung" kepada Hyang Maha Agung baik dalam Seren Taun Guru Bumi (tahunan) maupun Seren Taun Tutug Galur (Kuwera Bakti) delapan tahunan. Bahkan kegiatan-kegiatan upacara kecil lainnya. Sebagai pimpinan keagamaannya disebut Brahmesta yang dibantu oleh para Ganidri, Marakangsa, Puun Meuray, Puun Sari, para Puun dan para Pangwereg Punlung.
Sebagai tempat mandi sucinya, telaga yang terdapat di sungai Cihaliwung, yakni yang disebut Talaga Rena Mahawjaya atau lebih dikenal dengan sebutan Leuwi Sipatahunan. Secara hipotesis Telaga dan Balay Pamunjungan Kihara Hyang (Gugunungan-ngabalay - bukit sebagai balay) ini dibuat oleh Sri Baduga Maharaja sebagaimana tertera dalam prasasti Batutulis Bogor
".....ya siya nu nyiyan sakakala gugunungan ngabalay, nyiyan -samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya......"
Karya Prabu Siliwangi ini rnungkin rnerupakan pengganti telaga Sanghyang Rancamaya yang sudah ditimbuni oleh Sang Haluwesi adik Prabu Susuk Tunggal karena disana ada gaib jahat yang selalu muncul. Sebagaimana CP memberitakan :
"....Sanghyang Haluwesi. nu nyaeuran Sang Hyang Rancamaya. Mijilna ti sanghyang rancamaya: Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hyang banaspati ...".
Yang rnenurut Pantun "Disaeurna talaga Rancahmaya" gaib jahat itu tiap tahun selalu meminta "pimatarameun" (kurban) tujuh pasang manusia muda-mudi yang disebut "Sekar Manah ".
Berita tersebut mengisyaratkan, bahwa pada zamannya Prabu Susuk Tunggal (1382-1482 M) mertuanya Prabu Siliwangi, Telaga Sanghyang Rancamaya sudah tidak difungsikan lagi termasuk Pasir Badigul atau menurut Rajah Pakuan disebut Sanghyang Padungkukan, sebagai Balay pamunjungan-nya. Tentu saja penelitian lebih lanjut masih perlu dilaksanakan.
2). Babalayan Pamujan, ini pun berupa punden yang terdapat di Kabupatian-kabupatian Luar Dayeuh atau Kapuunan-kapuunan. Undakan pada punden macam ini hanya sebanyak 9 atau 7 undak dan tidak terdapat arca-arca, yang ada hanya kumpulan batu-batu besar pada tiap tingkat undakannya. Fungsinya sebagai tempat upacara "Muja" baik kepada para Sanghyang maupun kepada para Karuhun, yang dipimpin oleh Pandita atau Puun dan Kokolot.
3). Saung Sajen (Pancak Saji), berupa bangunan khusus untuk menyimpan sesaji dalam upacara "Nyajen" terbuat semacam rumah panggung mini tanpa kamar-kamar, tapi ada semacam altar untuk penyimpanan sesaji. Bangunan ini terdapat di lingkungan pemukiman baik dekat Keraton, Rumah Puun, Rumah Bupati ataupun rumah warga. Disamping sarana tersebut, masih ada tempat-tempat "sajen" yang tersebar di tempat-tempat yang dianggap memiliki daya gaib atau keramat seperti di depan gua, di bawah pohon besar, di hulu sungai, tengah hutan dsb. Ternpat-tempat semacam itu sebagian besar senantiasa ditandai oleh adanya "batu-batu besar" dan "batu-datar" sebagai wahana penyatuan diri antara manusia dengan sang gaib yang dihormatinya'
Tujuan demi terselenggaranya keselarasan hidup antar sesama makhluk dan unsur alam lainnya sesama ciptaan Sang Hyang Keresa. Sebab dalam ajaran Agama Sunda, makhluk manusia yang sudah "nyunda", mesti menyadari, bahwa yang diistilahkan "utek tongo wolang taga, manusa buta detia, lukut jukut rungkun kayu, keusik karihkil cadas batu, cinyusu talaga Sagara, bumi langit jagat mahpar, angin leutik angin puih, bentang rapang bulan ngempray, Sang herang ngenge nongtoreng. Eta kabeh ciptaan Sang Hyang Tunggal. Keur inyana mah kabeh geh sarua euweuh bedana" (satwa terkecil sampai yang paling besar, manusia-raksasa dan detia, lumut rumput-perdu sampai kekayuan, pasir-kerikil-cadas sampai bebatuan, mata air-telaga sampai lautan, bumi-langit sampai semesta alam, angin semilir sampai angin topan, bintang bertaburan-Bulan terang, Matahari terik. Itu semua ciptaan Sanghyang Tunggal. Bagi-Nya kesemuanya itu sama tidak ada perbedaannya)
Beranjak dari paham inilah, maka bagi Manusia Sunda "alam itu bukan untuk ditaklukan, tetapi harus disahabati, diakrabi bahkan dihormati". Implementasinya, melalui pranata "puja-puji-saji" lewat mandala suci sarana peribadatan tadi.
Sarana peribadatan agama sunda yang disebut-sebut Pantun Bogor diantaranya Balay Pamunjungan Rancamaya-Pasir Badigulpendetanya Resi Tugu Perbangsa, Balay Pamunjungan Kihara Hyang-Sipatahunan, pendetanya (Brarnesta Tunda Pura), Babalayan Pamujan Mandalawangi-Talaga Wana, pendetanya Resi Handeulawangi, Babalayan Parnujan Genter Bumi-Cisakawayana Resi Tutug Windu. Balay Pamunjungan Mandala Parakanjati (SBR)-Sanghyang Tampian Dalem, pendetanya Sanghyang Resi Kumarajati, dll.
Dambaan utama Orang Sunda setelah meninggal, bukan untuk mencari surga, tetapi menghendaki bisa kembali ke "Kahyangan" (Mandala Agung) sebagaimana asalnya, tanpa mesti melewati dulu mandala-mandala di bawahnya. Sebab ketika lahir datang dari mandala "Hyang" tanpa rencana, kembali pun melalui proses "Ngahiyang" tanpa mesti direncanakan menginginkan sorga. Hal inilah yang dalam pengistilahan sunda disebut "mulih kajati mulang ka asal".
Sarana peribadatan Sunda Kuno yang tidak bernuansa Hindu-Budha, jika ditilik dari aspek historis nasional, memiliki nilai-nilai spiritual yang mandiri. Dalam hal ini, jika semua pusat pemerintahan masa silam di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan berdiri megahnya Candi-candi, di pusat-pusat Kerajaan Sunda Pajajaran, Galuh, Talaga, Singaparna juga Kawali, yang jadi penanda kebesarannya adalah "tradisi megalitiknya" bercirikan batu-batu besar. Inilah suatu bukti bahwa orang sunda telah memiliki agama lokal yang cukup mapan.
Sindang Barang Pusat Kegiatan Agama Sunda
Di dalam Rajah Demung Kalagan (Pantun Ki Kamal, 1969.), nama Sindang Barang sudah disebut-sebut sebagai mantra pembuka dan penutup cerita :
" ...Ulah Sindang Barang geusan tata pangkat diganti deui, sang pamunah sang darma jati, tanah lemah tutup bumi, tutup buana dat mulusna..."
(...Jangan sindang barang sebagai tempat awal agama sunda diganti lagi, yang menyucikan pendeta sang darma jati, tanah tempat penaung dunia, pengayom alam kesempurnaan)
Kata-kata dalam rajah tersebut mengindikasikan bahwa Sindang Barang dikategoikan "tempat suci" bahkan dianggap sebagai penaung dunia dan pengayom dari segala kesempurnaan. Disebutkan pula penata kesuciannya bemarna Sang Darma Jati. Hal ini sejalan dengan berita pantun-gede Ki Uyut Juru Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung, yang menceritakan bahwa:
Babalayan Sanghyang Parakan Jati, Mandala suci Pamujan Kadatuan Sindang Barang saluareun dayeuh pakuan. Saha tah anu ngeuyeukna...? Nya inyana Pandita Agung anu ngaran inyana Sang Kumara Jati tea. Nya inyana oge anu ngabebenah Sanghyang Talaga Tampian Dalem salebakeunana.
(Babalayan Sanghyang Parakanjati, Mandala suci Pemujaan Kadatuan Sindang Barang sebelah luar ibukota pakuan. Siapa yang mengurusinya? Dialah Pendeta Agung yang namanya Sang Kumara Jati, Dialah juga yang memperindah Sanghyang Talaga Tampian Dalem di sebelah bawahnya)
Berita ini rnernperjelas, bahwa entitas Sindang Barang benar sebagai tempat suci. Memiliki sarana peribadatan Balay Pamujaninti Sanghyang Parakan Jati dan Sanghyang Talaga Tampian Dalem. (Pendeta) Kumara Jati atau Darma Jati orangnya pasti itu-itu juga. Mandala tersebut sebagai ternpat peribadatan agama sunda wilayah Kadatuan Luar Dayeuh Pakuan, Kadatuan Sura BimaSindang Barang.
Perkiraan sementara lokasi telaga ada di lahan luas sebelah bawahnya Kampung Budaya Sindang Barang sekarang, yaitu di Cilegok. Hal ini bisa diasurnsikan bahwa bekas Kabuyutan agama sunda Mandala Parakan Jati masa lalu adalah Kampung Budaya Sindang Barang (Cimenteng) sekarang.
Masih menurut Ki Uyut Juru Pantun, seorang raja Pajajaran bernama Prabu Rakean Heulang Dewata, dikisahkan "dipendem" (dimakarnkan) dekat Hyang Talaga Tarnpian Dalem ( "parek ka Sang Hyang Talaga Tampian Dalem"). Jika tokoh ini identik dengan salah seorang Raja Pajajaran menurut berita sejarah, ia pasti Ratu Dewatabuana (1535-1543 M). Sebab ia pun diberitakan dipusarakan di "sawah" tampian dalem. Secara hipotesis ternpatnya itu-itu juga. Pusara (kuburan) dimaksud perkiraan sementara sebuah Kuburan-kuno panjang 5 meter yang juga berlokasi di Cilegok, sampai sekarang kuburan kuno itu belurn dikenal oleh siapapun (Maki, 2008). Berita lain rnenceritakan Prabu Wisnu Brata rnemerintah Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan"Sanghyang Saka Bumi" di kaki Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede). Di sana ia rnendirikan Balay Pamunjungan "Arca Dornas" di kaki "Giri Parangguh" (Gunung Pangrango) dengan Brahmesla (pendeta agung) pemimpinnya bernama Sang Jati Jatra.
Pada akhir pemerintahannya, Wisnu Brata menyerahkan tahta kerajaan kepada keponakannya bernama Prabu Kalang Carita. Raja ini lalu pindah ke Pakuan Pajajaran dan mendirikan Balay Pamunjurryan Kihara Hyangdi tutugan Ardi Munda Mandala sebelah timurArda Welah.
Disini mungkin ada kekeliruan yang diberitakan Juru Pantun. Yakni antara lokasi Ardi Munda Mandala atau Arda Welah yang kini dikenal dengan nama Gunung Salak, dengan lokasi Kihara Hyang. Pada lakon Pantun yang sarna, Kihara Hyang disebutkan ada di "Leuweung Songgom" di seberang-timur Pakuan, sebelah atasnya Sungai Cihaliwung (sekitar kampung Bantar Kemang sekarang). Dalam lakon Pakujajar di Lawang Gintung versi Jonggol disebutkan "Pamujan di Leuweung Songgom di mumunjul Kihara Hyang, pamujan batu anu tujuh, anu ngundak tilu tumpangan... " Kedua cerita tadi mernberitakan Balay Kihara Hyang adanya di Leuweung Songgom bukan di ujung kaki Gunung Salak.
Sumber lain, Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung;
" ...Prabu Kalang carita nyieun Pamujan-Agung di mumunggang Giri Dwi Munda Mandala, sajajaran eujeung Taman, disebutna Mandala Sanghyang Parakan Jati, satonggoheun T'alaga Sanghyang Tampian Dalem, nyela bumi ti Kuta Babaton.. " (Prabu Kalang Carita mendirikan Pamujan Agung di kaki lereng Giri Dwi Munda Mandala, berdampingan berjajar dengan Taman, dinamainya Mandala Sanghyang Parakan Jati, sebelah atasnya Sanghyang Tampian Dalem, menyilang dari Kuta Babaton, Disebutkan pula Mandala Parakan Jati, sajajaran eujeung Taman"dan "nyela humi ti Kuta Babaton).
Nampaknya, Taman dimaksud bukan Taman Milakancana di Pakuan, tapi Tarnan di kompleks Sindang Barang. Dalam berita sejarah, Prabu Ragasuci (1297-1303 M) putra Prabu Guru Darmasiksa disebutkan pula "sang mokteng Taman " (dipusarakan di Taman). Ini berupa penanda, bahwa Prabu Kalangcarita mungkin identik dengan Prabu Ragasuci. Kalaupun tidak, mungkin mereka berdua masih pertalian saudara. Taman yang dijadikan pusaranya tidak akan jauh dari Kabuyutan yang didirikan olehnya atau saudaranya, yaitu di seputar wilayah Kadatuan Surabima (Sindang Barang).
Dugaan sementara, lokasi pusara tersebut ada di kompleks Punden Sanghyang Rucita di Pasir Eurih. Nama Kuta Babaton atau Kuta Wawaton (benteng bebatuan), ini rnenunjukan identitas karnpung Kota-Batu sekarang, yang berdekatan dengan Kampung Sindang Barang. Dengan demikian sudah terjawab, bahwa Balay Pamunjungan di kaki Gunung Salak adalah Mandala Parakan Jati, bukan Kihara Hyang.
Di bagian awal diutarakan, bahwa Balay Ki Hara Hyang didirikan jaman Prabu Siliwangi abad l5-16 M- sebagai pengganti Sanghyang Padungkukan dan Rancamaya yang sudah ditinggalkan karena angker. Prabu Kalang Carita keponakan Wisnu Brata Prabu Darma Siksa memerintah pada abad ke-13 M. Terdapat tenggang waktu kurang lebih 2 abad diantara kedua raja tersebut. Semakin jelas, sesuatu hal yang tidak mungkin bersamaan.
Melihat kenyataan di lapangan sekarang, Kampung Sindang Barang sarat dengan tinggalan-tinggalan kuno berbentuk tradisi megalitikum "Non Hindu-Budha". Hal ini sebagai indikasi, bahwa semenjak Pakuan Pajajaran mulai didirikan abad ke-7 oleh Tarus Bawa, Sindang Barang mungkin sudah berfungsi sebagai Kabuyutan Jatisunda sebagai kelanjutan dari Kabuyutan Arca Domas yang di Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede), Kabuyutan Gunung Padang di Cianjur Selatan dan Kabuyutan Kuta Gegelang di Gunung Bunder. Disamping itu, sebelum ada Kabuyutan Mandala Kihara Hyang karya Siliwangi, upacara-upacara besar agama sunda Pajajaran seperti Tata Kinariyan, Tata Duriya, Bakti Astula, Bakti Arakana, Guru Bumi, Kuwera Bakti termasuk upacara-upacara kecil lainnya, terpusat di Kabuyutan Mandala Parakan Jati (Sindang Barang), selain di Kapuunan-Kapuunan di luar lingkungan Kadaton. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa agama yang dianut warga Pajajaran sudah bukan Hindu-Budha lagi, namun agama yang disebut "Agama Sunda". Kalaupun adanya warna-warna ke-Hindu-Budhaan, hanya sebatas kepada aspek-aspek budaya kulit luarnya. Bisa diistilahkan"Nincak Parahu Dua"; agama sunda, sedangkan sistem budaya, budaya campuran sunda-hindu-budha.
Dalam hal ini mengapa Putri Padmawati (Kentring Manik Mayang Sunda) memilih tinggal di Kadaton Surabima di Sindang Barang, tidak di Pakuan. Konon demi lebih memantapkan keyakinannya kepada agarna sunda. Sebab nenek moyangnya berasal dari "Nusa Bima" bukan asli Pajajaran (Partini Sardjono, 1991). Karenanya Kedatonnya oleh ayahandanya, Prabu Panji Haliwungan (Susuk Tunggal) dinamai Sura Bima. Putranya pun, Prabu Guru Gantangan yng menurut catatan sejarah disebut Prabu Surawisesa (1521-1533 M), lahir di Sindang Barang juga.
Selagi kecilnya ia diasuh dan dididik oleh uanya Rakean Panji Wirajaya Sang Amuk Murugul di Kadaton Surabima. Barulah ketika Siliwangi wafat, ia terpilih untuk menggantikannya memegang tampuk pimpinan sebagai Raja Pajajaran ke-2 di Pakuan.
Hung, rahayu suasti astu
nirmala seda malilang. Pun