Jumat, 01 November 2019

SEJARAH, CERITA, LEGENDA KERAJAAN SUMEDANG LARANG



Kerajaan Sumedang Larang adalah salah
satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-16 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. 
Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten. Sejarah Kerajaan Sumedang Larang 
(kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). 

Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri. 
No. Masa Tahun 
1. Kerajaan Sumedang Larang 900 - 1601 
2. Pemerintahan Mataram II 1601 - 1706 
3. Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 - 1811 
4. Pemerintahan Inggris 1811 - 1816 
5. Pemerintahan Belanda / 8Nederland Oost-Indie 1816 - 1942 
6. Pemerintahan Jepang 1942 - 1945 
7. Pemerintahan Republik Indonesia 1945 - 1947 
8. Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 - 1949 
9. Pemerintahan Negara Pasundan 1949 - 1950 
10. Pemerintahan Republik Indonesia 1950 - sekarang

Asal-mula nama Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. 

Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

 
Pemerintahan berdaulat No. Nama Tahun 

1. Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang 
a Prabu Guru Aji Putih 900 
b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950 
c Prabu Gajah Agung 980 
d Sunan Guling 1000 
e Sunan Tuakan 1200 
f Nyi Mas Ratu Patuakan 1450 
g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata 1530 - 1578 
h Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 - 1601 

2. Nama Bupati Wedana Masalah teu Pemerintahan Mataram II a R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I 1601 - 1625 b Pangeran Rangga Gede 1625 - 1633 c Pangeran Rangga Gempol II 1633 - 1656 d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706

 3. Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang 
a. Dalem Tumenggung Tanumaja 1706 - 1709 
b. Pangeran Karuhun 1709 - 1744 
c. Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759 
d. Dalem Anom 1759 - 1761 
e. Dalem Adipati Surianagara 1761 - 1765 
f. Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773 
g. Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773 - 1775
h. Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789 
i. Dalem Aria Sacapati 1789 - 1791 
j. Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata 1791 - 1800 
k. Bupati Republik Batavia Nederland 1800 - 1810 
l. Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte 1805 - 1810 
m. Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810 - 1811 
n. Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 - 1815 
o. Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828 p. Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung 1828 - 1833 
q. Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit 1833 - 1834 
r. Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 - 1836 
s. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih 1836 - 1882 
t. Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah 1882 - 1919 
u. Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937 
v. Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri 1937 - 1942 
w. Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942 - 1945 
x. Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945 - 1946 
4. Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947 
5. Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia a Raden Tumenggung M. Singer 1947 - 1949 
6. Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan 
a. Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949 - 1950 7 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia 
a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950 
b Raden Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951 
c Sulaeman Suwita Kusumah 1951 - 1958 d Antan Sastradipura 1958 - 1960 
e Muhammad Hafil 1960 - 1966 
f Adang Kartaman 1966 - 1970 g Drs. Supian Iskandar 1970 - 1972 h Drs. Supian Iskandar 1972 - 1977 
i. Drs. Kustandi Abdurahman 1977 - 1983 
j.  Drs. Sutarja 1983 - 1988 
k. Drs. Sutarja 1988 - 1993 l
l. Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998 
m. Drs. H. Misbach 1998 - 2003 
n. H. Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008 
o. H. Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013 Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M) Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). 

Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun. 

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). 

Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).

 Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. 

Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. 

Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja.
 Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes. Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling.

 Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran.

Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. 

Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan.
Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun. 

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. 

Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. 

Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. 

Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang Larang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut.

 Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda.

 Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu : Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun) Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam. Kiyai Demang Watang di Walakung. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang. Santowaan Cikeruh. Santowaan Awiluar. Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang. Prabu Geusan Ulun Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri.

Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. 

Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. 

Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang).

Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu 
Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, 
Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan
Sanghyang Kondanghapa, 
dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot. 

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. 

Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia. Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; 

pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. 

Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).

Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati. 

Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun.

Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang. 

Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. 

Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. 

Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur. Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean.

Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak: 
Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang 
Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi 
Kiyai Kadu Rangga Gede 
Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning Raden Ngabehi Watang 
Nyi Mas Demang Cipaku 
Raden Ngabehi Martayuda, 
di Ciawi Rd. Rangga Wiratama, 
di Cibeureum Rd. Rangga Nitinagara, 
di Pagaden dan Pamanukan Nyi Mas Rangga Pamade Nyi Mas Dipati Ukur, 
di Bandung Rd. Suriadiwangsa, 
putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu Pangeran Tumenggung Tegalkalong Rd. Kiyai Demang Cipaku, 
di Dayeuh Luhur. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati). Pemerintahan di bawah Mataram Dipati Rangga Gempol Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M 
Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. 

Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram.

Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede

Dipati Rangga Gede Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. 

Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Dipati Ukur Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). 

Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk meme7rintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia.

 Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa. 

Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. 

Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda. 

Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya.

 Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.

Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. 

Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya. 

Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. 

Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. 


Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram. Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. 

Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta. Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. 

Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya. Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. 

Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat. Pembagian wilayah kerajaan Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. 

Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian: Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa, Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun, Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya. Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan. Peninggalan budaya Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. 

Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.

 

Senin, 20 Mei 2019

Kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam (bagian – 01)

Skip to content

Search

 Menu



Kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam (bagian – 01)

ShareTweet

Yusuf ‘Alaihissalam Bermimpi

Pada suatu malam ketika Yusuf masih kecil, ia bermimpi dengan mimpi yang menakjubkan. Ia bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud kepadanya. Ketika ia bangun, maka ia langsung mendatangi ayahnya, Nabi Ya’qub ‘alaihissalammenceritakan mimpinya itu. Ayahnya pun langsung memahami takwilnya, dan bahwa akan terjadi pada anaknya suatu urusan yang besar. Maka ayahnya segera mengingatkan Yusuf agar tidak menceritakan mimpinya itu kepada saudara-saudaranya yang nantinya setan akan merusak hubungan mereka dan berhasad kepadanya atas pemberian Allah itu. Yusuf pun menaati saran ayahnya.

Saudara-saudara Yusuf Berniat Buruk Kepada Yusuf

Nabi Ya’qub ‘alaihissalam sangat sayang kepada Yusuf sehingga membuat saudara-saudaranya merasa iri dengannya. Mereka pun berkumpul untuk membuat makar kepadanya agar Yusuf dijauhkan dari ayahnya dan kasih sayang itu beralih kepada mereka.

Salah seorang di antara mereka mengusulkan untuk membunuh Yusuf atau membuangnya ke tempat yang jauh agar perhatian ayahnya hanya tertumpah kepada mereka saja, setelah itu mereka bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi di antara mereka ada yang menolak usulan dibunuhnya Yusuf, ia hanya mengusulkan agar Yusuf dimasukkan ke dalam sumur yang berada jauh agar nanti ditemukan oleh kafilah yang lewat, lalu mereka mengambil dan menjualnya. Ternyata usulan inilah yang dipandang baik dan diterima mereka. Dengan demikian, kesimpulan kesepakatan mereka adalah hendaknya Yusuf diasingkan dan dijauhkan dari tengah-tengah mereka.

Mulailah mereka berpikir bagaimana caranya agar rencana mereka itu dapat terlaksana dengan baik. Setelah itu, mereka pun menemukan caranya. Mereka pun datang kepada ayah mereka dan berkata, “Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menginginkan kebaikan baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti menjaganya.”

Nabi Ya’qub berkata, “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf sangat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedangkan kamu lengah darinya.”

Mereka menjawab, “Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang rugi.” (QS. Yusuf: 11-14)

Yusuf Dimasukkan ke Dalam Sumur

Maka pada pagi hari, mereka keluar membawa Yusuf ke gurun sambil menggembala kambing-kambing mereka. Setelah mereka berada jauh dari ayah mereka, maka mulailah mereka melakukan rencana itu, mereka berjalan hingga tiba di sumur, lalu mereka melepas baju Yusuf dan melempar Yusuf ke dalamnya. Ketika itu, Allah mewahyukan kepada Yusuf, “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tidak ingat lagi.” (QS. Yusuf: 15)

Setelah mereka berhasil memasukkan Yusuf ke sumur, maka mereka berpikir kembali tentang apa yang akan mereka katakan nanti di hadapan ayah mereka ketika ayahnya bertanya tentang Yusuf, hingga akhirnya mereka sepakat untuk mengatakan bahwa seekor serigala memakannya, dan untuk menguatkan pernyataan mereka itu, mereka sembelih seekor kambing lalu darahnya mereka lumuri ke baju Yusuf.

Di malam hari, mereka pulang menemui ayahnya dalam keadaan pura-pura menangis. Nabi Ya’qub pun melihat mereka dan ternyata Yusuf tidak ada di tengah-tengah mereka, lalu mereka memberitahukan secara dusta, bahwa ketika mereka pergi untuk pergi berlomba-lomba dan mereka tinggalkan Yusuf di dekat barang-barangnya, lalu Yusuf dimakan serigala. Selanjutnya mereka mengeluarkan gamisnya yang berlumuran darah untuk menguatkan pernyataan mereka.

Tetapi Nabi Ya’qub melihat gamisnya dalam keadaan tidak robek, karena mereka lupa merobeknya, lalu Ya’qub berkata kepada mereka, “Sungguh aneh serigala ini, mengapa ia bersikap sayang kepada Yusuf, ia memakannya tanpa merobek pakaiannya.” Maka Ya’qub berkata kepada mereka menerangkan kedustaan mereka, “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18).

Yusuf Dikeluarkan dari Sumur dan Dibawa ke Mesir

Adapun Yusuf, maka ia tetap berada dalam sumur menunggu adanya orang yang mau menolongnya. Ketika ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba datang sebuah kafilah yang hendak menuju Mesir, lalu mereka ingin menambahkan persediaan mereka, kemudian mereka mengutus salah seorang dari mereka ke sumur untuk membawakan air. Ketika ia menurunkan timbanya, maka Yusuf bergantung kepadanya, lalu orang itu melihat ke isi sumur, ternyata dilihatnya seorang anak muda yang tampan berpegangan dengannya. Orang ini pun merasa senang dan memberitahukan kepada kawan-kawannya yang lain, lalu mereka mengeluarkan Yusuf dan membawanya bersama mereka menuju Mesir untuk dijual.

Pada suatu hari, Al ‘Aziz berkeliling di pasar untuk membeli seorang anak buat dirinya, karena ia tidak punya anak. Kemudian kafilah itu menawarkan Yusuf kepadanya, lalu raja Al ‘Aziz membelinya dengan harga beberapa dirham saja.

Kemudian Al Aziz pulang ke istrinya dalam keadaan senang karena membeli seorang anak. Ia juga menyuruh istrinya memuliakan anak tersebut dan berbuat baik kepadanya, mungkin saja ia dapat bermanfaat bagi keduanya atau dijadikan sebagai anak angkat. Demikianlah Allah memberikan kekuasaan kepada Yusuf di bumi sehingga ia hidup di bawah kasih sayang Al ‘Aziz dan pengurusannya.

bersambung…. klik bagian 2

Artikel www.KisahMuslim.com

CategoriesKisah Nabi dan RasulKisah NyataPost navigation

Kisah Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam

Kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam (bagian – 02)

Rabu, 15 Mei 2019

Pangeran Santri


Pangeran Santri


Pangeran Koesoemadinata I atau Ki Gedeng Sumedang atau Pangeran Santri atau Maulana Solih 1530-1578 adalah Penerus Kerajaan Sumedang Larang setelah menikah dengan Nyai Ratu Pucuk Umun.

Perkembangan IslamSunting

Pada pertengahan abad ke-16,agama Islam mewarnai perkembangan wilayah Sumedang Larang (sekarang Kabupaten Sumedang) Nyai Ratu Pucuk Umun adalah seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah. Dari pernikahannya dengan Pangeran Santri (1505-1579 M) yang juga bergelar Ki Gedeng Sumedang,memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut dan dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Nyai Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya.

Pemindahan ibukota Kerajaan Sumedang LarangSunting

Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya. Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang.

Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun saudara Ratu Sunyalarang Istri Prabu Pucuk Umum ibu dari Prabu Haur Kuning dan Sunan Wanaperih

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Koesoemadinata, putra Pangeran Pamelekaran. Pangeran Koesoemadinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

KeluargaSunting

Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaranatau cucu Syekh Maulana Abdurahman atau Pangeran Panjunan dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah. Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umun dikaruniai putra enam orang anak, yaitu :

Putra-putriSunting

Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)


Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.


Kiyai Demang Watang di Walakung.


Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.


Santowaan Cikeruh.


Santowaan Awiluar.


Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

SilsilahSunting

Nabi Muhammad SAW


Sayyidah Fatimah Az-Zahra


Sayyid Husain Asy-Syahid


Sayyid 'Ali Zainal 'Abidin


Sayyid Muhammad al-Baqir


Sayyid Ja'far ash-Shadiq


Sayyid Ali Al-Uraidhi


Sayyid Muhammad An-Naqib


Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi


Sayyid Ahmad al-Muhajir


Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah


Sayyid Alawi Awwal


Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah


Sayyid Alawi Ats-Tsani


Sayyid Ali Kholi' Qosim


Sayyid Muhammad Sohib Mirbath


Sayyid Alawi Ammil Faqih


Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir Azmatkhan


Sayyid Abdullah Azmatkhan


Abdul Kadir


Maulana Isa


Datuk Ahmad


Syekh Datuk Kahfi / Syekh Nurjati / Syekh Nurul Jati .


Pangeran Panjunan / Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan)


Pangeran Pamelekaran / Pangeran Muhammad


Pangeran Santri / Pangeran Koesoemadinata I


Lihat pulaSunting

Kerajaan Galuh


Kerajaan Pajajaran


Kerajaan Sumedang Larang


Referensi

Terakhir disunting 2 bulan yang lalu oleh Sofiamaulahela

HALAMAN TERKAIT

Kerajaan Sumedang Larang

nama raden walang sungsang


Pangeran Panjunan


Pangeran Pamelekaran


Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali dinyatakan lain.

Privasi


Tampilan PC


Datuk Kahfi


Datuk Kahfi


Syekh Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati atau Syekh Nurjati atau Syekh Nurijati atau Syekh Datuk Barul atau Syekh Datuk Iman atau Syekh Dulyamin) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon dan leluhur dari Pembesar Sumedang.

Dia pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penerus penguasa di Kerajaan Sumedang LarangJawa Barat, dan putera dari Syekh Datuk Ahmad. Ia juga merupakan keturunan dari Amir Abdullah Khan.

Datuk Kahfi adalah tokoh perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Ia menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati, yang lebih terkenal dengan nama Gunung Jati, sebuah bukit kecil dari dua bukit, yang berjarak + 5 km sebelah utara kota Cirebon, tepatnya di desa Astana Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon.[1][2]

Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Bagdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra- putri. Dari Bagdad ia pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon). Ia wafat dan dimakamkan di Giri Amparan Jati.[1][2]

Cerita tentang Syekh Nurjati dijumpai dalam naskah-naskah tradisi Cirebon yang merupakan bukti sekunder. Naskah-naskah tersebut berbentuk prosa, diantaranya : Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon. Serta naskah yang berbentuk tembang di antaranya Carub Kanda, Babad Cirebon, Babad Cerbon terbitan S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, Naskah Kuningan dan Naskah Pulasaren. Dari sekian banyak naskah hanya naskah Babad Cirebon terbitan Brandes saja yang tidak memuat tentang Syekh Nurjati. Sedangkan naskah tertua yang menulis tentang Syekh Nurjati dibuat oleh Arya Cerbon pada tahun 1706 M.[1][2]

Menemukan JodohnyaSunting

Setelah Syekh Datuk Kahfi menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim putra dari Jamaluddin Akbar al-Husaini dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.

Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni :

Syekh Abdurakhman yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan(ayah Pangeran Tubagus Angke, dan Pangeran Pamelekaran kakek Pangeran Santri),


Syekh Abdurakhim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan),


Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati), dan


Syekh Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi, atau Syekh Nurjati di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya Babad Cirebon Keraton Kasepuhan).


Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad. Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota raja Bagdad.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh NurjatiSunting

Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura KarawangSyekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon. Ketika armada Cheng Ho singgah di Pura Karawang, Syekh Quro dan pengiringnya turun, di antara pengiringnya adalah putranya yang bernama Syekh Bentong alias Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat.

Keharmonisan dakwah antara Cirebon dan KarawangSunting

Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebai di Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.


Puteri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung (Nur Giri Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid Sang Saka Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan dan terawat baik.


Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.


Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu RarasantangSunting

Di kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguronkedatangan Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam.

Mereka adalah cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati dari jalur ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping melaksanakan perintah ibundanya sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu Siliwangi. Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati. Pada saat mereka bertiga diterima menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa,  “ Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini hingga hari kemudian dengan selamat. Amin.”

Di antaramurid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas adalah Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang. Walaupun keduanya telah menjadi muslim sejak kecil, dan belajar ke Syekh Quro, tetapi ketika datang ke pesantren Syekh Nurjati keduanya dan Nyi Indang Geulis (istri Pangeran Walangsungsang), tetap diminta kembali mengucapkan kedua kalimah syahadat. Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai dari yang sangat dasar (rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai dasar fondasi keimanan. Mengapa Syekh Nurjati melakukan metode pengajaran seperti kepada orang yang baru mengenal ajaran dasar Islam? Menururt Besta Basuki Kertawibawa, kemungkinan ada keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar keimanan dan pengetahuan ketiganya tentang agama Islam. Hal ini dikarenakan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang adalah putra-putri dari Raja Pajajaran yang beragama Hindu - Budha. Selain itu, pengalaman mereka tentang agama Islam masih dalam tahapan pemula. 

Hubungan keluarga dengan Syekh Siti Jenar dan Adipati KuninganSunting

Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada jamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abjul Jalil). 

Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu laki-laki Syekh Bayanullah atau Syekh Maulana Akbar yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di Cirebon, Syekh Bayanullah memiliki putra Syekh Maulana Arifin menikah dengan Nyai Ratu Selawati dari pernikahannya dikaruniai putri Nyi Mas Kencanawati yang menikah dengan Adipati Kuningan putra Ki Gedeng Luragung (seorang kepala daerah di Luragung) yang masih saudara sepupu Nyai Ratu Selawati (putri Pangeran Surawisesa cucu Prabu Siliwangi).

Dan seorang adik Syekh Datuk Kahfi wanitanya menikah dengan Raja Upih Malaka. Lalu dari perkawinan tersebut lahir lah seorang putri yang kelak menikah dengan Dipati Unus dari Demak.

SilsilahSunting

Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Datuk Kahfi yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (HadramautYaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW, berputeri

Sayidah Fatimah az-Zahra manikah dengan Imam Ali bin Abi Thalib, berputera


Imam Husain a.s, berputera


Imam Ali Zainal Abidin, berputera


Muhammad al-Baqir, berputera


Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera


Ali al-Uraidhi, berputera


Muhammad al-Naqib, berputera


Isa al-Rumi, berputera


Ahmad al-Muhajir, berputera


Ubaidillah, berputera


Alawi, berputera


Muhammad, berputera


Alawi, berputera


Ali Khali' Qosam, berputera


Muhammad Shahib Mirbath, berputera


Sayid Alwi, berputera


Sayid Abdul Malik, berputera


Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera


Sayid Abdul Kadir, berputera


Maulana Isa, berputera


Syekh Datuk Ahmad, berputera


Syekh Datuk Kahfi


Sebagai guru

Lihat PulaSunting

Syekh Datuk Kahfi


Sunan Gunung Djati


Catatan kakiSunting

^ a b c (Indonesia) Biografi Syekh Nurjati"www.iaincirebon.ac.id". Diakses tanggal 12-04-12.


^ a b c (Indonesia) Syekh Nurjati Mahaguru dari Cirebon"www.koran.republika.co.id". Diakses tanggal 12-04-12.


ReferensiSunting

Biografi Syekh Nurjati Situs resmi IAIN Nurijati Cirebon


para santri dan sejarah cirebon yang terlupakan


Silsilah Pangeran Santri Koesoemadinata


Arkeologi Islam Nusantara Oleh Uka Tjandrasasmita


Untold Story Syekh Nurjati oleh Dodi Nurdjaja


Sejarah Kuningan oleh Adiyta guru SMA Negeri 1 Kuningan


Asy Seikh Datul Kahfi / Syekh Nurjati / Maulana Idhofi Mahdi


Biografi Syekh Nurjati H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon : Zulfana Cierbon


Pranala luar

Lihat riwayat suntingan halaman ini.

HALAMAN TERKAIT

Qurotul Ain


Pangeran Panjunan


Tan Go Wat


Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali dinyatakan lain.

Privasi


Tampilan PC


Sabtu, 13 April 2019

Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun

Pangeran Angkawijaya yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun dalam silsilah keluarga Sumedang adalah putra Pangeran Kusumahdinata I (Pangeran Santri) selain dianggap sebagai raja daerah atau mandala Kerajaan Sumedang Larang juga mendapat gelar jabatan Nalendra dari Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Prabu Geusan Ulun

Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun

Nama lainPangeran Angkawijaya, Pangeran Kusumadinata IIPekerjaanRaja Sumedang LarangDikenal atasRaja Mandala Sumedang Larang,Suami/istri

Nyi Mas Cukang Gedeng Waru


Ratu Harisbaya


Nyi Mas Pasarean


Anak

Dari Gedeng:[1]

Pangeran Rangga Gede alias Kusumahdinata III.


Raden Aria Wiraraja I.


Ki Kadu Rangga Gede.


Ki Rangga Patra Kelana.


Ki Aria Rangga Pati.


Ki Ngabehi Watang.


Nji Mas Demang Cipaku.


Nji Mas Ngabehi Martayuda.


Nji Mas Rangga Wiratama.


Raden Rangga Nitinagara alias Dalem Rangga Nitinagara.


Nji Mas Rangga Pamade.


Nji Mas Dipati Ukur.


Pangeran Tumenggung Tegal Kalong.


Kiai Demang Tjipakoe.


Dari Harisbaya[2]

Pangeran Aria Suriadiwangsa.[2][3][4]


Pangeran Tumenggung Tegal Kalong.[2][5]


Raden Rangga Nitinagara.[2][6]


Raden Arya Wiraraja I.[2]


Dari Pasarean

Ki Demang Cipaku.[butuh rujukan]


Orang tua

Kusumahdinata I alias Pangeran Santri alias Ki Gedeng Sumedang).


Ratu Pucuk Umunalias Ratoe Inten Dewata alias Satyasih.


Kerabat

Demang Rangga Dadji.


Demang Watang.


Santowaan Wirakusumah.[7]


Santoan Tjikeroeh.


Santoan Awi Luar.


PenghargaanNalendra Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Makam Prabu Geusan Ulun Adji Putih yang terletak di komplek pemakaman Dayeuh Luhur Kabupaten Sumedang.

Dia dijadikan titik tolak urutan para keturunan Sumedang serta diposisikan sebagai Bupati pertama walaupun istilah Bupati belum dikenal pada waktu itu. Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang memerintah Sumedang secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan/ kerajaan kepada salah satu putranya yang bernama Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II dan bergelar Nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610

Meneruskan kepemimpinan Pakuan PajajaranSunting

 

Halaman dari Babad Pajajaran, biografi paling lengkap mengenai Prabu Siliwangi. Disalin ulang di Sumedang pada abad 19 dengan bahasa dan aksara Jawa.

Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh empat Kandage Lante (bangsawan/ abdi raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah bubar juga meminta agar Prabu Geusan Ulun meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih(Mahkota Binokasih) berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Ke empat Kandaga Lante tersebut adalah :

Batara Sang Hyang Hawu (Sanghyang Hawu atau lebih dikenal sebagai Eyang atau Embah Jaya Perkasa).


Batara Pancar Buana (Terong Peot).


Batara Dipati Wiradijaya (Nangganan).


Batara Sang Hyang Kondang Hapa.


Dengan kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran(seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya/Raga Mulya/ Suryakancana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena dia keburu meninggal dunia. Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit bagi dia untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Kerajaan Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuatan besar kerajaan yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon yang sama-sama mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran.

Pada masa pemerintahannya terkenal dengan peristiwa yang menggemparkan sekaligus memalukan yaitu, dibawa kaburnya Ratu Harisbaya salah satu istri Raja Cirebon Pangeran Girilaya Panembahan Ratu pada saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Keraton Cirebon sekembalinya dari Kerajaan Demak dalam rangka memperdalam agama Islam, terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan dia terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya. Meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Majalengka diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya, sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya dia wafat dan dimakamkan disana bersama Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri kedua dan memiliki anak salah satunya bernama Suriadiwangsayang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata IV, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata III, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh kedua putranya diatas.

Dalam masa Kesultanan MataramSunting

Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram-Jawa Tengah di bawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatar belakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Suriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan.

Setibanya di Mataram dia menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I. Penghargaan lain dari Sultan Agung ialah menjuluki wilayah kekuasaan Sumedang tersebut dengan nama Prayangan artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus. Di kemudian hari dengan lafal setempat nama Prayangan berubah menjadi Priangan, berbeda dengan kata Parahyangan (Para-Hyang-an) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang).

 

Sultan Agung Mataram

Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri di bawah pretensi atau proteksi Mataram:

Hanya Kerajaan atau Kesultanan Mataramdi bawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten.


Ratu Harisbaya merupakan kerabat Raja atau Sultan Mataram, sehingga yang berangkat ke Mataram adalah putranya sendiri (Raden Suriadiwangsa alias Rangga Gempol I).


Seperti halnya Sumedang Larang, Kerajaan atau Kesultanan Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh, sehingga masih memiliki kekerabatan.


Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran, dibarengi pula rasa takut menghadapi kemungkinan ekspansi Kesultanan Banten dalam rangka menguasai wilayah bekas Pakuan Pajajaran.


Akibat peristiwa Harisbaya hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis, timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon.


Sementara itu sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon sementara Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuasaan tadi sehingga mengambil jalan keluar dengan mengabdikan diri ke Mataram, yang memiliki kekuatan melebihi kedua Kesultanan tadi.[8]


Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ± 30 tahun kemudian pada periode pemerintahan Pangeran Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan) itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda. Aria Suriadiwangsa alias Kusumadinata IV alias Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernurmasa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten(sebelum Banten menjadi propinsi di era reformasi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede alias Pangeran Kusumahdinata III, tidak berapa kemudian dia mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang Madura.

Lihat pulaSunting

Kerajaan Kendan


Kerajaan Galuh


Kerajaan Panjalu


Kerajaan Salakanagara


Kerajaan Tarumanagara


Kerajaan Sunda


Kerajaan Talaga Manggung


Kerajaan Galunggung


Kerajaan Sunda Galuh


Kerajaan Pajajaran


Kerajaan Tembong Agung


Kerajaan Sumedang Larang


Prabu Geusan Ulun


Kesultanan Cirebon


Kesultanan Banten


Provinsi Pasundan


Daftar provinsi Indonesia


Daftar Tokoh Sunda


Tokoh Sunda


Sunda


Bacaan lanjutSunting

Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.


Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.


Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.


Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.


Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, 2 vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.


Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.


Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.


Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia.


E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.


Atja, Drs. (1970). Ratu Pakuan. Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung.


Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). Sadjarah Sunda. Bandung. Ganaco Nv.


Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah.Pengharepan. Bandoeng,


Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. CV. Satya Historica. Bandung.


Herman Soemantri Emuch. (1979). Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Universitas Indonesia. Jakarta.


Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.


Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Sanggar SGB. Ciamis.


Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Cirebon.


Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983). Kerajaan Carbon 1479-1809. PT. Tarsito. Bandung.


Suparman, Tjetje, R. H., (1981). Sajarah Sukapura. Bandung


Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950.CV.Rapico. Bandung.


Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang. CV Pustaka Setia.


Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu Siliwangi. CV Pustaka Setia.


Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.


Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. (1960). Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580. Kujang. Bandung.


Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.


Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647. PT. Buku Kita. Yogyakarta Bagikan.


A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. (2004). Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Pusat Studi Sunda.


A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). (2008).Sejarah Purwakarta.


Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. (2000). Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat. Alqaprint. ISBN 979-95652-4-3.


Pranala

Catatan kakiSunting

^ Erni Muthalib (Sabtu, 07 April 2012). "Silsilah Keluarga Pangeran Santri Koesoemadinata". Erni Muthalib Blog. Diakses tanggal 3 Agustus 2015.


^ a b c d e Uka Tjandrasasmita (2009). "Arkeologi Islam Nusantara". Kepustakaan Populer Gramedia. Diakses tanggal 3 Agustus2015.


^ Hardjasaputra, A. Sobana. (Jumat, 21 Juni 2013). Permasalahan Dalam Sejarah Sumedang - Tinjauan Akademis, Blog Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra. Diakses 8 Agustus 2015.


^ Nama alias Pangeran Dipati Rangga Gempol I alias Kusumahdinata IV. Bupati Wedana Mataram I untuk seluruh wilayah Pasundan.


^ Mertua Sultan Mataram


^ Yang menurunkan para bupati dan pembesar (Keluarga Wangsatanu).


^ Pangeran Santowaan Wirakusumah keturunannya berada di Pagaden dan PamanukanSubang.


^ Faktor ini dapat disebabkan karena, Kerajaan atau Kesultanan BantenCirebon dan Mataram sangat kuat pada masa itu, mereka memiliki pantai-pelabuhan tempat berbagai kegiatan bukan hanya perdagangan tetapi juga masuknya persenjataan modern ukuran masa itu.

KITAB SUNDA

BERBAGI INFORMASI TENTANG BUDAYA, ARKEOLOGI, ASTRONOMI, DAN WACANA YANG BERMANFAAT


MenuRumahBeritaBudaya- Budaya- Naskah kuno- Aksara Sunda kunoSejarah- Sejarah Dunia- Sejarah Sunda- Sejarah NusantaraFilsafatOpiniFigurArkeologiMitologi- Legenda & Mitos- Tafsir MimpiFitur- SiteMap

Ini adalah Alkitab

oleh Admin Historiana pada 07 September 2018pada 2018 , agama , agama Sunda , Budaya ,Sunda Buhun 

Foto: mytrip.co.id[Historiana] - Sebelumnya kita sudah membahas agama (agama) Sunda Buhun atau Sunda Jati . Deskripsi dan definisi dari Sunda Jat sudah kita bahas, Silakan klik tautan di atas. 

Kali ini kami sedang mencari apa kitab suci Sunda Buhun atau Sunda Jati Sunda? 

Menururt Anis Djatisunda, "Sampai hari ini saya belum menemukan pendapat para ahli yang berani memastikan, apa agama orang Sunda di Sunda Lama." Terlepas dari kenyataan bahwa sejarah sejarawan memberikan Hindu dominan dan Buddhisme signifikansi dominan. Sangat Djatisunda berpendapat bahwa agama Sunda kuno disebut Zaman Pajajaran, adalah "Agama Sunda". Dipercayai bahwa beberapa berita yang ditemukan mayoritas telah memberikan kejelasan. Misalnya, kansak kansak-406,Kisah Parahyangan (CP) yang menunjukkan keberadaan para biarawan "yang menggoda cinta Sunda."  Itulah para pendeta yang mengaku dan mempraktikkan Agama Sunda. Saat mereka mempertahankan "parahyangan kabah". 

Indikasi sisa lembaga keagamaan semacam itu, sekarang masih tinggal di komunitas "orang Rawayan (Baduy)" , yang disebut agama "Sunda Wiwitan" dari sisa Sunda Jati Sunda atau Parahiyang, adalah Mandala Kanekes ; pekerjaan mereka. Demi pentahbisan Sunda Jati dengan kesetiaan mereka hingga saat ini, yang sekarang mereka sebut "Sasaka Domas", Sasaka Pusaka Buana atau juga disebut "Sasaka At Agung"

Kesaksian lainnya adalah merujuk pada berita serial Pantun Bogor versi Aki uyut Baju Rambeng. Dalam episode Pantun Bogor "(suci) " Curug Si At Weruh " , diceritakan bahwa:

 "Sebelum kita tidak bisa tidur di Kadu Hejo, kita punya banyak agama, itulah sebabnya kita mencintai agama ..." 


(Sebelum orang Hindu memerintah di Kadu Hejo, nenek moyang kita memiliki agama, 


yaitu istilah agama Sunda).

Hypothesely, yang dimaksudkan sebagai "Urang Hindi" di sini, adalah sosok Dewawarman. Seperti dilansir Perpustakaan Wangsakerta, ia dikumpulkan oleh Aki Tirem alias luhur Mulya, dikawinkan dengan putrinya, Pohaci Larasati , yang kemudian diangkat sebagai Raja di Salakanagara, ibukota Rajatapura (130 - 168 M), menggantikan dirinya sendiri. Nama tempat itu Kadu Hejo, sejalan dengan berita Pantun yang berlokasi di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, masih dinamai demikian. 

Pada tahun 1972 Pastor Sacin (alm), ahli sastra bambu dan mantan Panengen(penasihat Puun ) Baduy Tangtu Cikeusik menjelaskan, bahwa zaman "bajak laut"Pakuan Pajajaran, agama mereka"Agama Sunda Pajajaran" . Sampai sekarang mereka masih agamant, membintangi sumpah yang mereka sebut "Sadat Sunda" (Sunda Sahadat):

"Sadat sadat sedih, sir katata sir katepi, selam larang teu sorang, sir (h) aji pakuan". Sahadat Sunda ini, pernah disebutkan dalam upacara pemujaan di Babalayan Pamujan "Sasaka At Ageung" ( Undangan Baduy).


Beralihlah ke makna kata "Sunda" sebagai nama agama. Dalam mitos Bangsa Pendiri Sunda , berita Pantun Bogor episode Pakulajar Beukah Kembang , Sunda berarti bagian suci atau penyempurnaan ( " artinya teh suci , campuran sempurna" ). Sunda padaawalnya disebut Sunda Buana . Nama itu diberikan oleh  Sanghyang Wenang . Karena, ketika tanah itu masih hamparan kosong, banyak yang dikunjungi orang untuk "mendorong diri sendiri" (menyucikan diri).

"..... di dinya ta hade Jasa pieun panyundaan nyundakeun diri . Pieun nyampurnakeun raga eujeung sukma, abeh bisa ngarasa paeh sajero hirup, ngarasa hirup Sabari paeh".


(... senang memurnikan, menyempurnakan tubuh dan jiwa Anda, bisa merasa mati selama hidup, untuk merasa hidup saat dalam keadaan mati). 

Hari-hari Buana Sunda semakin ramai oleh perekrut . Oleh karena itu, mereka memiliki "uang cinta" jangka panjang (orang suci) - nama kurikulum, "etnis sundaan".

Aksara Sunda: Sambawa. Sambada dan Winasa

Maklum, agama Sunda sudah ada sejak saat itu Dewawarman memerintah di Salakanagara (130 - 168 M). Terhitung sampai saat ini, keberadaannya sudah lebih dari 20 abad bahkan mungkin lebih. Kitab suci disebut Sambawa, Sambada dan Winasa , tiga buku yang ditulis oleh "Raja Resi Wisnu Brata".

 "... pikukuhan Agama Sunda Pajajaran dituliskeun dina Layang Sambawa, Sambada, Winasa anu dituliskeun ku Parbhu Reusi Wisnu Brata. Nya inyana anu tukang tapa ti ngongora. Inyana anu saenyana ngagalurkeun jadi kabehan pada ngarti Agama anu kiwari disebut Agama Sunda Pajajaran tea. Agama anu hanteu ngabeda-bedakeun boroboro ngagogoreng ngahaharuwan agama sejen. Lantaran euweuh agama anu hanteu hade. Anu hanteu hade mah lain agama, tapi metakeun agama jeung laku lampah arinyana anu arembung bae ngarti hartina Ahad teh nunggal nu ngan Sahiji-sahijina, ngan sahiji bae.....".


(Ajaran agama Pajajaran ditulis dalam Sambawa, Sambada, Naskah Winasa yangditulis oleh Prabu Resi Wisnu Brata , yang merupakan pemuja dari kaum muda, dan dialah yang mengundang semua orang untuk memahami agama yang sekarang disebut Sunda Pajajaran . tidak membeda-bedakan atau bahkan tidak menyukai agama-agama lain karena tidak ada agama yang jelek. jelek itu bukan agama, melainkan praktik agama, dan perilaku orang-orang yang tidak mau mengerti arti "ahad" hanya satu, hanya "satu-satu").

Dihipotesiskan oleh tokoh Raja Resi Wisnu Brata menurut cerita Pantun, adalah, Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu '(1175 - 1297 M) berdasarkan catatan sejarah Perpustakaan Wangsakerta. Karena salah satu raja Sunda yang bijaksana dengan bijak seperti Resi dan tak henti-hentinya menyiarkan agama itu, hanya raja ini. 

Mungkin sebelum 3 buku yang ditulisnya, entitas agama sunda selama sekitar 1 milenium (1000 tahun), masih merupakan agama tidak resmi. Tepat sejak Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Agama Sundadisahkan oleh negara. (Diperlukan penelitian lebih lanjut).

Tampaknya pada saat itu, agama Hindu atau Budha mulai memudar. Setidaknya telah jatuh cinta dengan agama. Jadi berbagai kitab suci Buddha-Buddha kurang spesifik di alam. 

Dalam episode Pantun (keramat) Bogor "Tunggul Kawung Bijil Sirung" diceritakan, penyebar Sunda pertama adalah seorang tokoh yang dijuluki "Mundi di Laya Hadi Kusumah" setelah ia mendapatkan Layang Salaka Domas dari "Jagat Jabaning Langit"

Secara harfiah Layang Salaka Domas berarti " Kitab Suci dari Delapan Ayat Hurdred.", dewasa hingga tua (sambada) dan kematian dan kehidupan di alam hyang (winasa). Bagaimana bunyi setiap ayat dalam ketiga kitab suci ini, "Rawayan Urang" (Baduy) merahasiakannya, atau mungkin mereka tidak mengetahuinya lagi. 

Pada masanya Siliwangi masih memerintah di Pakuan Pajajaran, isi dari ketiga kitab suci itu selalu dibaca dalam malam yang sunyi dan sunyi, penuh kedamaian yang berada di puncak upacara Kuwera Bakti di kunjungan Balay Kihara Hyang, langit bebas cahaya yang disinari "resin resin" bercampur cahaya bulan Bulan purnama meluas, dipimpin oleh Brahmesta the Great State Rev.Hari berikutnya ketiganya diarak di dalam "Niskala Wastu Jambana" di sekitar Balay Courtyard dan kemudian ke kompleks Pakuan. 

Kembali ke sosok Mundi di Laya Hadi Kusumah. Siapa itu sebenarnya Tidak ada kisah puisi atau cerita naratif yang menjelaskannya. Sosok seperti "Mundinglaya Dikusumah" putra Prabu Siliwangi terasa mustahil, karena usianya terlalu muda. Dalam nama Laya Hadi Kusumah , nama yang secara filosofis bermakna: "[seseorang] yang telah mampu membawa tingkat kematian yang tinggi, keindahan bunga-bunga", konotasi "seseorang yang telah mampu mengendalikan keinginannya sambil meninggalkan dunia benda," identik dengan " Khalik ".

The Journey of the Sky , sebuah alam semesta di luar alam semesta, di tempat kudus Sang Hyang Tunggal , tentunya sosok ini bukan manusia. The Journey of Heavenadalah "Mandala Ageung". Dalam istilah Baduy kita disebut "Buana Nyungcung" . Tempat tinggal Sang Rumuhung, yang terhebat, Sang Hyang Tunggal. 

Dari pengistilahan nama-nama dzat Sang Maha Pencipta seperti di atas, memberikan indikasi bahwa Orang Sunda sejak masa nirleka pun sudah menganut paham Monotheisme (Satu Tuhan) yakni Tuhan sebagaimana digambarkan dalam Pantun Bogor:

 "Namanya ada di hadapan, tidak ada penampilan tanpa waruga, tidak ada koneksi, tetapi akses kuat ke semua keinginannya." 


Dalam mantra yang disebut "Pajajaran" , disebutkan atributnya, berbunyi:

 "Tuhan adalah satu-satunya yang ada di dunia, menyaksikan di alam semesta semua, di dunia, di dunia."


(Sang Hyang Agung yang Maha Esa, Dialah yang sebenarnya sang "Penyembahan", tiada beranak tiada bersaudara, mempunyai teman pun tidak di Jagat dan di Alam ini. Yang paling unggul di segala-gala. Hung, nah itulah Sang Benar Sejati, Ahung!) Hanya kepadanya orang sunda rnenyembah dan minta perlindungan, sebab hanya Inyana-lah yang memiliki kebenaran sejati dan hakiki.

Dalam keadaan "Tunggal-nya", "Sang Hyang Rumuhung Nu Ngeresakeun" dibantu oleh para "Sang Hyang", seperti '. Sang Hyang WenangSang Hyang Wening, sang Hyang Guru Hyang Tunggal (Guriang Tunggal)Sang Hyang Kala. Sang Hyang Guru Bumi Sang Hyang Ambu Sri Rumbiyang Jati, Sunan Ambudan para Sang Hyang lainnya, sesuai tugas dan wewenangnya rnasing-masing di Jagat dan Alam seisinya.

Sang Hyang yang menempa kepasrahan dalam perjalanan kehidupan manusia adalah Sang Hyang Kala, lazim disebut Dewa Papasten (dewa kepastian) yang menguasai kewenangan "Sang Waktu". Orang Sunda-Nyunda demikian yakin perjalanan hidupnya dikendalikan oleh ketentuan waktu yang diistilahkan "papasten" tadi. Seperti ucapan Sang Hyang Lengser kepada Prabu Siliwangi, yang gagal menyeberang ke Nusa Larang karena diterpa badai dan topan:

 "Dengekeun Gusti! Saha anu bisa ngabendung gunturna waktu, saha anu bisa nyahatkeun talaga lara. saha anu bisa mungpang ka papasten"


(Dengarkan Gusti ! Siapa yang mampu membendung membanjirnya waktu, 


siapa yang bisa mengeringkan telaga kesusahan, siapa yang bisa melawan kepastian). 

Disini tersirat bahwa segala langkah dan upaya, tak akan bisa tercapai apabila belum waktu-nya yang dalam bahasa sunda lama disebut "Uga".

Dalam kolteks sebagai masyarakat berladang, Sanghyang yang diagungkan oleh orang Sunda ialah Sanghyang Amhu Sri Rumbiyang Jati (sebagai Dewi Kesuburan Padi dan tanam-tanaman) dan Sanghyang Ayah Kuwera Guru Bumi atau disebut pula Batara Patanjala (Dewa kesuburan dan kesejahteraan ). Kedua Sanghyang suami isteri ini, sebagai pangbayu hirup hurip manusia sunda. Karenanya dijadikan inti puja dalam kegiatan-kegiatan upacara besar semacam "Lebaran", baik Upacara tahunan Seren Tahun Guru Bumi maupun winduan Upacara Tutug Galur Kuwera Bakti di Pakuan. Waktu kegiatannya berupa pesta akbar setiap selesainya panen padi di ladang.

Kita maklumi, sekarang pun hal demikian masih berlaku di lingkungan masyarakat adat Baduy, Pancer Pangawinan, Naga, Dukuh, Sumedang Larang, Cigugur, bahkan warga masyarakat Kampung Budaya Sindang Barang.

Agama Sunda mernberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Menghadapi proses ini, manusia Sunda dihadapkan kepada dua jagat yang disebut jagat jadi carita dan jagat kari carita (dunia fana dan alam baka). Di jagat kari carita. terdapat mandala dan buana karma atau jagat pancaka. Mandala tersebut terdiri dari 9 tingkat secara vertikal, diantaranya dari bawah keatas: Mandala Kasungka - Mandala Parmana - Mandala Karna - Mandala Rasa - Mandala Seba - Mandala Suda - Jati Mandala - Mandala Samar - Mandala Agung. Setiap roh orang mati, harus masuk dulu ke Mandala Kasungka (mandala paling bawah).

Jika semasa hidupnya tidak-baik, harus pindah dulu ke Kawah Panggodogan di Buana Karma, untuk mendapatkan ujian-ujian. Bagi yang masa hidupnya baik-baik, bisa secara langsung naik sampai ke mandala yang lebih tinggi.

Mandala keenam, Mandala Suda; berupa tempat berkumpulnya para "Karuhun" yang telah bebas untuk pulang pergi ke dunia fana. Ia boleh berwujud lagi, tapi kalau berbicara hanya melalui perasaan. Atau sebaliknya, boleh bersuara biasa tapi mesti tanpa wujud.

Dari Mandala Suda naik lagi ke "Alam Kasucian" yaitu ke Jati Mandala. Di mandala ini terdapat dua pasebanPaseban Pangauban tempat para Karuhun yang sudah bebas untuk kembali lagi ke dunia fana menjenguk yang masih hidup, seraya boleh berwujud dan berbicara seperti biasa. Sebelah atasnya terdapat Papanggung Bale Agung. Di sana berkumpul para Karuhun yang sedang menunggu giliran untuk nitis.
Sebelah atas Jati Mandala ada Mandala Samar. Di Mandala ini yang tinggal para Karuhun yang sudah memiliki jadwal nitis. Mereka sudah tidak perlu lagi naik tahapan mandala, sebab mereka sudah pada habis giliran, untuk kemudian lebur menyatu dengan dzat semesata alam.

Ada tiga tempat sejajar diatas Mandala Samar. Yang ada di tengah, tempat bersemayamnya Sanghyang Gurilyang Tunggal. Sebelah kirinya persemayaman Sang Hyang Wenang, yang kanan Sang Hyang Wening. Ditengah atas ketiganya tempat bersernayamnya Sang Hyang Kala.

Sedangkan yang paling atas sendiri Mandala Agung, jarak dari Mandala Samar kira-kira dua puluh sembilan setengah zaman (dua puluh salapan satengah jaman), atau istilah Urang Kanekes (Baduy) hanya berjarak sagorolong jeruk nipis (segelinding jeruk nipis). Mandala inilah yang juga disebut Jagat Jabaning Langit tempat bersemayamnya "Sang Hyang T'unggal", "anu nunggal bae di sakabeh alam sakabeh jagat" (Tuhan Yang Maha Kuasa, yang "Maha Esa" di seluruh alam dan seluruh Jagat). Suatu Jagat tanpa ruang tanpa waktu, tanpa terang tanpa gelap, tanpa jarak tanpa batas.

Sarana Peribadatan

Sarana sebagai tempat peribadatan Agama Sunda zaman Pajajaran ada tiga macam yang termasuk inti;
l) Balay Pamunjungan, berupa bukit Punden Berundak 12 undakan, yang dibagian puncaknya dan di 2 tingkat di bawahnya terdapat Arca-arca sebanyak 800 buah, yang lazim disebut "Arca Domas". Konon, Balay Pamunjungan yang paling mewah dan megah di Pakuan Pajajaran, pada zarnannya Prabu Siliwangi. Yakni yang disebut Balay Pamuniungan Kihara Hyang berlokasi di"Leuweung Songgom" (hutan songgom) kira-kira wilayah Kampung Bantar Kemang sekarang. Selain lapangan di bawahnya sangat luas juga di puncak bukit yang disebut balay, dipadati oleh arca-arca Emas seutuhnya sebanyak 400 buah. Arca lain yang 400 lagi dari batu, terdapat di tingkat kedua ketiga yang disebut Babalayan.

Punden semacam ini terdapat hanya di Pakuan (pusat kerajaan), sebagai sarana upacara peribadatan "munjung" kepada Hyang Maha Agung baik dalam Seren Taun Guru Bumi (tahunan) maupun Seren Taun Tutug Galur (Kuwera Bakti) delapan tahunan. Bahkan kegiatan-kegiatan upacara kecil lainnya. Sebagai pimpinan keagamaannya disebut Brahmesta yang dibantu oleh para Ganidri, Marakangsa, Puun Meuray, Puun Sari, para Puun dan para Pangwereg Punlung.

Sebagai tempat mandi sucinya, telaga yang terdapat di sungai Cihaliwung, yakni yang disebut Talaga Rena Mahawjaya atau lebih dikenal dengan sebutan Leuwi Sipatahunan. Secara hipotesis Telaga dan Balay Pamunjungan Kihara Hyang (Gugunungan-ngabalay - bukit sebagai balay) ini dibuat oleh Sri Baduga Maharaja sebagaimana tertera dalam prasasti Batutulis Bogor

 ".....ya siya nu nyiyan sakakala gugunungan ngabalay, nyiyan -samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya......"


Karya Prabu Siliwangi ini rnungkin rnerupakan pengganti telaga Sanghyang Rancamaya yang sudah ditimbuni oleh Sang Haluwesi adik Prabu Susuk Tunggal karena disana ada gaib jahat yang selalu muncul. Sebagaimana CP memberitakan :

 "....Sanghyang Haluwesi. nu nyaeuran Sang Hyang Rancamaya. Mijilna ti sanghyang rancamaya: Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hyang banaspati ...".


Yang rnenurut Pantun "Disaeurna talaga Rancahmaya" gaib jahat itu tiap tahun selalu meminta "pimatarameun" (kurban) tujuh pasang manusia muda-mudi yang disebut "Sekar Manah ".

Berita tersebut mengisyaratkan, bahwa pada zamannya Prabu Susuk Tunggal (1382-1482 M) mertuanya Prabu Siliwangi, Telaga Sanghyang Rancamaya sudah tidak difungsikan lagi termasuk Pasir Badigul atau menurut Rajah Pakuan disebut Sanghyang Padungkukan, sebagai Balay pamunjungan-nya. Tentu saja penelitian lebih lanjut masih perlu dilaksanakan.

2). Babalayan Pamujan, ini pun berupa punden yang terdapat di Kabupatian-kabupatian Luar Dayeuh atau Kapuunan-kapuunan. Undakan pada punden macam ini hanya sebanyak 9 atau 7 undak dan tidak terdapat arca-arca, yang ada hanya kumpulan batu-batu besar pada tiap tingkat undakannya. Fungsinya sebagai tempat upacara "Muja" baik kepada para Sanghyang maupun kepada para Karuhun, yang dipimpin oleh Pandita atau Puun dan Kokolot.

3). Saung Sajen (Pancak Saji), berupa bangunan khusus untuk menyimpan sesaji dalam upacara "Nyajen" terbuat semacam rumah panggung mini tanpa kamar-kamar, tapi ada semacam altar untuk penyimpanan sesaji. Bangunan ini terdapat di lingkungan pemukiman baik dekat Keraton, Rumah Puun, Rumah Bupati ataupun rumah warga. Disamping sarana tersebut, masih ada tempat-tempat "sajen" yang tersebar di tempat-tempat yang dianggap memiliki daya gaib atau keramat seperti di depan gua, di bawah pohon besar, di hulu sungai, tengah hutan dsb. Ternpat-tempat semacam itu sebagian besar senantiasa ditandai oleh adanya "batu-batu besar" dan "batu-datar" sebagai wahana penyatuan diri antara manusia dengan sang gaib yang dihormatinya'

Tujuan demi terselenggaranya keselarasan hidup antar sesama makhluk dan unsur alam lainnya sesama ciptaan Sang Hyang Keresa. Sebab dalam ajaran Agama Sunda, makhluk manusia yang sudah "nyunda", mesti menyadari, bahwa yang diistilahkan "utek tongo wolang taga, manusa buta detia, lukut jukut rungkun kayu, keusik karihkil cadas batu, cinyusu talaga Sagara, bumi langit jagat mahpar, angin leutik angin puih, bentang rapang bulan ngempray, Sang herang ngenge nongtoreng. Eta kabeh ciptaan Sang Hyang Tunggal. Keur inyana mah kabeh geh sarua euweuh bedana" (satwa terkecil sampai yang paling besar, manusia-raksasa dan detia, lumut rumput-perdu sampai kekayuan, pasir-kerikil-cadas sampai bebatuan, mata air-telaga sampai lautan, bumi-langit sampai semesta alam, angin semilir sampai angin topan, bintang bertaburan-Bulan terang, Matahari terik. Itu semua ciptaan Sanghyang Tunggal. Bagi-Nya kesemuanya itu sama tidak ada perbedaannya)

Beranjak dari paham inilah, maka bagi Manusia Sunda "alam itu bukan untuk ditaklukan, tetapi harus disahabati, diakrabi bahkan dihormati". Implementasinya, melalui pranata "puja-puji-saji" lewat mandala suci sarana peribadatan tadi.

Sarana peribadatan agama sunda yang disebut-sebut Pantun Bogor diantaranya Balay Pamunjungan Rancamaya-Pasir Badigulpendetanya Resi Tugu Perbangsa, Balay Pamunjungan Kihara Hyang-Sipatahunan, pendetanya (Brarnesta Tunda Pura), Babalayan Pamujan Mandalawangi-Talaga Wana, pendetanya Resi Handeulawangi, Babalayan Parnujan Genter Bumi-Cisakawayana Resi Tutug Windu. Balay Pamunjungan Mandala Parakanjati (SBR)-Sanghyang Tampian Dalem, pendetanya Sanghyang Resi Kumarajati, dll.

Dambaan utama Orang Sunda setelah meninggal, bukan untuk mencari surga, tetapi menghendaki bisa kembali ke "Kahyangan" (Mandala Agung) sebagaimana asalnya, tanpa mesti melewati dulu mandala-mandala di bawahnya. Sebab ketika lahir datang dari mandala "Hyang" tanpa rencana, kembali pun melalui proses "Ngahiyang" tanpa mesti direncanakan menginginkan sorga. Hal inilah yang dalam pengistilahan sunda disebut "mulih kajati mulang ka asal".

Sarana peribadatan Sunda Kuno yang tidak bernuansa Hindu-Budha, jika ditilik dari aspek historis nasional, memiliki nilai-nilai spiritual yang mandiri. Dalam hal ini, jika semua pusat pemerintahan masa silam di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan berdiri megahnya Candi-candi, di pusat-pusat Kerajaan Sunda Pajajaran, Galuh, Talaga, Singaparna juga Kawali, yang jadi penanda kebesarannya adalah "tradisi megalitiknya" bercirikan batu-batu besar. Inilah suatu bukti bahwa orang sunda telah memiliki agama lokal yang cukup mapan.

Sindang Barang Pusat Kegiatan Agama Sunda
Di dalam Rajah Demung Kalagan (Pantun Ki Kamal, 1969.), nama Sindang Barang sudah disebut-sebut sebagai mantra pembuka dan penutup cerita :

 " ...Ulah Sindang Barang geusan tata pangkat diganti deui, sang pamunah sang darma jati, tanah lemah tutup bumi, tutup buana dat mulusna..."


(...Jangan sindang barang sebagai tempat awal agama sunda diganti lagi, yang menyucikan pendeta sang darma jati, tanah tempat penaung dunia, pengayom alam kesempurnaan)

Kata-kata dalam rajah tersebut mengindikasikan bahwa Sindang Barang dikategoikan "tempat suci" bahkan dianggap sebagai penaung dunia dan pengayom dari segala kesempurnaan. Disebutkan pula penata kesuciannya bemarna Sang Darma Jati. Hal ini sejalan dengan berita pantun-gede Ki Uyut Juru Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung, yang menceritakan bahwa:

 Babalayan Sanghyang Parakan Jati, Mandala suci Pamujan Kadatuan Sindang Barang saluareun dayeuh pakuan. Saha tah anu ngeuyeukna...? Nya inyana Pandita Agung anu ngaran inyana Sang Kumara Jati tea. Nya inyana oge anu ngabebenah Sanghyang Talaga Tampian Dalem salebakeunana.


(Babalayan Sanghyang Parakanjati, Mandala suci Pemujaan Kadatuan Sindang Barang sebelah luar ibukota pakuan. Siapa yang mengurusinya? Dialah Pendeta Agung yang namanya Sang Kumara Jati, Dialah juga yang memperindah Sanghyang Talaga Tampian Dalem di sebelah bawahnya)

Berita ini rnernperjelas, bahwa entitas Sindang Barang benar sebagai tempat suci. Memiliki sarana peribadatan Balay Pamujaninti Sanghyang Parakan Jati dan Sanghyang Talaga Tampian Dalem. (Pendeta) Kumara Jati atau Darma Jati orangnya pasti itu-itu juga. Mandala tersebut sebagai ternpat peribadatan agama sunda wilayah Kadatuan Luar Dayeuh Pakuan, Kadatuan Sura BimaSindang Barang.

Perkiraan sementara lokasi telaga ada di lahan luas sebelah bawahnya Kampung Budaya Sindang Barang sekarang, yaitu di Cilegok. Hal ini bisa diasurnsikan bahwa bekas Kabuyutan agama sunda Mandala Parakan Jati masa lalu adalah Kampung Budaya Sindang Barang (Cimenteng) sekarang.

Masih menurut Ki Uyut Juru Pantun, seorang raja Pajajaran bernama Prabu Rakean Heulang Dewata, dikisahkan "dipendem" (dimakarnkan) dekat Hyang Talaga Tarnpian Dalem ( "parek ka Sang Hyang Talaga Tampian Dalem"). Jika tokoh ini identik dengan salah seorang Raja Pajajaran menurut berita sejarah, ia pasti Ratu Dewatabuana (1535-1543 M). Sebab ia pun diberitakan dipusarakan di "sawah" tampian dalem. Secara hipotesis ternpatnya itu-itu juga. Pusara (kuburan) dimaksud perkiraan sementara sebuah Kuburan-kuno panjang 5 meter yang juga berlokasi di Cilegok, sampai sekarang kuburan kuno itu belurn dikenal oleh siapapun (Maki, 2008). Berita lain rnenceritakan Prabu Wisnu Brata rnemerintah Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan"Sanghyang Saka Bumi" di kaki Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede). Di sana ia rnendirikan Balay Pamunjungan "Arca Dornas" di kaki "Giri Parangguh" (Gunung Pangrango) dengan Brahmesla (pendeta agung) pemimpinnya bernama Sang Jati Jatra.

Pada akhir pemerintahannya, Wisnu Brata menyerahkan tahta kerajaan kepada keponakannya bernama Prabu Kalang Carita. Raja ini lalu pindah ke Pakuan Pajajaran dan mendirikan Balay Pamunjurryan Kihara Hyangdi tutugan Ardi Munda Mandala sebelah timurArda Welah.

Disini mungkin ada kekeliruan yang diberitakan Juru Pantun. Yakni antara lokasi Ardi Munda Mandala atau Arda Welah yang kini dikenal dengan nama Gunung Salak, dengan lokasi Kihara Hyang. Pada lakon Pantun yang sarna, Kihara Hyang disebutkan ada di "Leuweung Songgom" di seberang-timur Pakuan, sebelah atasnya Sungai Cihaliwung (sekitar kampung Bantar Kemang sekarang). Dalam lakon Pakujajar di Lawang Gintung versi Jonggol disebutkan "Pamujan di Leuweung Songgom di mumunjul Kihara Hyang, pamujan batu anu tujuh, anu ngundak tilu tumpangan... " Kedua cerita tadi mernberitakan Balay Kihara Hyang adanya di Leuweung Songgom bukan di ujung kaki Gunung Salak.

Sumber lain, Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung;

 " ...Prabu Kalang carita nyieun Pamujan-Agung di mumunggang Giri Dwi Munda Mandala, sajajaran eujeung Taman, disebutna Mandala Sanghyang Parakan Jati, satonggoheun T'alaga Sanghyang Tampian Dalem, nyela bumi ti Kuta Babaton.. " (Prabu Kalang Carita mendirikan Pamujan Agung di kaki lereng Giri Dwi Munda Mandala, berdampingan berjajar dengan Taman, dinamainya Mandala Sanghyang Parakan Jati, sebelah atasnya Sanghyang Tampian Dalem, menyilang dari Kuta Babaton, Disebutkan pula Mandala Parakan Jati, sajajaran eujeung Taman"dan "nyela humi ti Kuta Babaton). 


Nampaknya, Taman dimaksud bukan Taman Milakancana di Pakuan, tapi Tarnan di kompleks Sindang Barang. Dalam berita sejarah, Prabu Ragasuci (1297-1303 M) putra Prabu Guru Darmasiksa disebutkan pula "sang mokteng Taman " (dipusarakan di Taman). Ini berupa penanda, bahwa Prabu Kalangcarita mungkin identik dengan Prabu Ragasuci. Kalaupun tidak, mungkin mereka berdua masih pertalian saudara. Taman yang dijadikan pusaranya tidak akan jauh dari Kabuyutan yang didirikan olehnya atau saudaranya, yaitu di seputar wilayah Kadatuan Surabima (Sindang Barang).

Dugaan sementara, lokasi pusara tersebut ada di kompleks Punden Sanghyang Rucita di Pasir Eurih. Nama Kuta Babaton atau Kuta Wawaton (benteng bebatuan), ini rnenunjukan identitas karnpung Kota-Batu sekarang, yang berdekatan dengan Kampung Sindang Barang. Dengan demikian sudah terjawab, bahwa Balay Pamunjungan di kaki Gunung Salak adalah Mandala Parakan Jati, bukan Kihara Hyang.
Di bagian awal diutarakan, bahwa Balay Ki Hara Hyang didirikan jaman Prabu Siliwangi abad l5-16 M- sebagai pengganti Sanghyang Padungkukan dan Rancamaya yang sudah ditinggalkan karena angker. Prabu Kalang Carita keponakan Wisnu Brata Prabu Darma Siksa memerintah pada abad ke-13 M. Terdapat tenggang waktu kurang lebih 2 abad diantara kedua raja tersebut. Semakin jelas, sesuatu hal yang tidak mungkin bersamaan.

Melihat kenyataan di lapangan sekarang, Kampung Sindang Barang sarat dengan tinggalan-tinggalan kuno berbentuk tradisi megalitikum "Non Hindu-Budha". Hal ini sebagai indikasi, bahwa semenjak Pakuan Pajajaran mulai didirikan abad ke-7 oleh Tarus Bawa, Sindang Barang mungkin sudah berfungsi sebagai Kabuyutan Jatisunda sebagai kelanjutan dari Kabuyutan Arca Domas yang di Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede), Kabuyutan Gunung Padang di Cianjur Selatan dan Kabuyutan Kuta Gegelang di Gunung Bunder. Disamping itu, sebelum ada Kabuyutan Mandala Kihara Hyang karya Siliwangi, upacara-upacara besar agama sunda Pajajaran seperti Tata Kinariyan, Tata Duriya, Bakti Astula, Bakti Arakana, Guru Bumi, Kuwera Bakti termasuk upacara-upacara kecil lainnya, terpusat di Kabuyutan Mandala Parakan Jati (Sindang Barang), selain di Kapuunan-Kapuunan di luar lingkungan Kadaton. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa agama yang dianut warga Pajajaran sudah bukan Hindu-Budha lagi, namun agama yang disebut "Agama Sunda". Kalaupun adanya warna-warna ke-Hindu-Budhaan, hanya sebatas kepada aspek-aspek budaya kulit luarnya. Bisa diistilahkan"Nincak Parahu Dua"; agama sunda, sedangkan sistem budaya, budaya campuran sunda-hindu-budha.

Dalam hal ini mengapa Putri Padmawati (Kentring Manik Mayang Sunda) memilih tinggal di Kadaton Surabima di Sindang Barang, tidak di Pakuan. Konon demi lebih memantapkan keyakinannya kepada agarna sunda. Sebab nenek moyangnya berasal dari "Nusa Bima" bukan asli Pajajaran (Partini Sardjono, 1991). Karenanya Kedatonnya oleh ayahandanya, Prabu Panji Haliwungan (Susuk Tunggal) dinamai Sura Bima. Putranya pun, Prabu Guru Gantangan yng menurut catatan sejarah disebut Prabu Surawisesa (1521-1533 M), lahir di Sindang Barang juga.

Selagi kecilnya ia diasuh dan dididik oleh uanya Rakean Panji Wirajaya Sang Amuk Murugul di Kadaton Surabima. Barulah ketika Siliwangi wafat, ia terpilih untuk menggantikannya memegang tampuk pimpinan sebagai Raja Pajajaran ke-2 di Pakuan.


Hung, rahayu suasti astu

nirmala seda malilang. Pun