Kamis, 28 Juni 2018

Girindrawardhana


Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Pa Bu Ta La[1] adalah bupati bekas Kerajaan Majapahit yang memerintah sekitar tahun 1488-1527 sebagai bawahan Kesultanan Demak. Ia menantu Kertabhumi dan ipar Raden Fatah/Senapati Jin Bun. Ia dilantik oleh Panembahan Jin Bun/Raden Fatah menjadi penguasa Majapahit sejak tahun 1488 dan meninggal tahun 1527. Tahun 1517 ia menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka, karena itu Kesultanan Demak  kembali menyerang Majapahit pada tahun tersebut, tetapi jabatannya sebagai bupati di Majapahit masih dipertahankan karena ia ipar Jin Bun/Raden Fatah, sebab menikahi adik bungsu Jin Bun. Setelah wafatnya, sebagai bupati Majapahit dijabat oleh salah seorang anak Sultan Trenggana.

Silsilah RanawijayaSunting

Girindrawardhana Dyah Ranawijaya diperkirakan sebagai putra Suraprabawa Sang Singawikramawardhana, raja Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1466-1474. Dugaan tersebut berdasarkan atas gelar abhiseka yang dipakai oleh Ranawijaya dan Suraprabhawa yang masing-masing mengandung kata Girindra dan Giripati. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, yaitu "raja gunung".

Pada tahun 1486 Ranawijaya mengeluarkan prasasti Jiyu tentang pengesahan anugerah kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara berupa tanah Trailokyapuri. Pengesahan ini dilakukan bersamaan dengan upacara Sraddha untuk memperingati 12 tahun meninggalnya Bhatara Mokteng Dahanapura, atau "Baginda yang meninggal di Daha". Tokoh ini diyakini para sejarawan sebagai orang tua Ranawijaya.

Suraprabhawa dalam Pararaton disebut dengan nama Bhre Pandansalas yang pada tahun 1468 melarikan diri setelah dikalahkan oleh Bhre Kertabumi dan ketiga kakaknya. Jika berita tersebut dipadukan dengan naskah prasasti Jiyu, maka dapat diperoleh gambaran bahwa Suraprabawa kemudian tinggal di Daha setelah terusir dari Majapahit.

Setelah meninggal, Suraprabawa disebut dengan gelar anumerta Bhatara Mokteng Dahanapura. Hasil penyelidikan prasasti Jiyu menemukan tahun kematiannya adalah 1474. Dengan demikian, Dyah Ranawijaya diperkirakan naik tahta juga pada tahun 1474 tersebut.

Prasasti Jiyu menyebut gelar Dyah Ranawijaya adalah Sri Wilwatikta Jenggala Kediri, yang artinya penguasa Majapahit, Jenggala, dan Kediri. Ini membuktikan bahwa pada tahun 1486 tersebut kekuasaan Bhre Kertabhumi di Majapahit telah jatuh pula ke tangan Ranawijaya.

Dalam prasasti Jiyu juga ditemukan adanya nama Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma yang diperkirakan sebagai saudara Dyah Ranawijaya.

Identifikasi dengan BrawijayaSunting

Brawijaya adalah nama raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Nama ini sangat populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti.

Oleh karena itu perlu diselidiki dari mana asalnya para pengarang babad dan serat memperoleh nama tersebut. Nama Brawijaya diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, yang merupakan singkatan dari Bhatara Wijaya.

Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, sedangkan Dayo bermakna Daha. Dari prasasti Jiyu diketahui bahwa Daha diperintah oleh Dyah Ranawijaya pada tahun 1486. Dengan kata lain, Brawijaya alias Bhatara Wijaya adalah nama lain dari Dyah Ranawijaya.

Identifikasi Brawijaya raja terakhir Majapahit dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga diduga sebagai raja Majapahit. Kerajaan Dayo adalah ejaan Portugis untuk Daha, yang saat itu menjadi ibu kota Majapahit. Menurut Babad Sengkala  pada tahun 1527 Daha akhirnya dikalahkan oleh Kesultanan Demak.

Ingatan masyarakat Jawa tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha tahun 1527 bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar